
Laporan Anwar, S.Ag, M.A.P (Cek Wan)
Kabupaten Bireuen selain digelar sebagai Kota Santri, juga telah lama menyandang gelar "Kota Juang." Di penghujung Februari 2025 lalu, lebih dari 50.000 santri dari berbagai dayah di wilayah ini liburan pulang ke kampung halaman mereka, membawa serta suasana unik yang memadukan disiplin khas dayah dengan kebebasan sementara di tengah keluarga dan keramaian kota.
Libur selama hampir 40 hari dalam menyambut bulan suci Ramadan ini bukan sekadar jeda dari rutinitas ketat dayah, tetapi juga menjadi panggung bagi tradisi baru yang kian terasa hidup di tengah budaya agamis Bireuen sebagai Kota Santri.
Pusat kota seperti Bireuen dan Matang Geulumpang Dua mendadak berubah wajah. Jalan-jalan yang biasanya lengang kini dipadati kendaraan, mulai dari sepeda motor yang dikendarai santri hingga mobil keluarga yang mengantar jemput. Nuansa Kota Santri makin terasa.
Warung kopi, toko, dan tempat jajanan tradisional tiba-tiba ramai oleh pelanggan, seolah menyambut gelombang manusia yang haus akan kehangatan Ramadan bersama keluarga.
"Suasananya beda, lebih hidup. Para santri yang biasanya terkurung di dayah kini terlihat menikmati sisi lain kehidupan," ujar seorang pedagang warung kopi di pusat kota Juang Bireuen.
Kehadiran puluhan ribu santri ini tak hanya membawa keramaian, tetapi juga memperkaya interaksi sosial. Mereka yang selama ini hidup dalam aturan ketat dayah; bangun subuh, mengaji, dan menjalani hari dengan jadwal padat, kini mereka tampak lebih santai berada di luar pagar dayah.
Sepeda motor yang jarang mereka sentuh di dayah menjadi alat transportasi favorit untuk berkeliling kampung dan kota, sementara handphone yang biasanya terbatas penggunaannya kini jadi jendela mereka untuk terkoneksi dengan dunia luar. Namun, di balik kebebasan sementara ini, nilai-nilai agama yang telah mendarah daging di dayah masih tetap terlihat dalam perilaku santri di masyarakat.
Liburan santri di Bireuen menghadirkan fenomena menarik: perpaduan antara tradisi lama dan gaya hidup modern yang sementara mereka rasakan. Di satu sisi, mereka tetap menjaga kebiasaan baik seperti shalat berjamaah dan tadarus bersama keluarga.
Di sisi lain, ada pemandangan baru yang mencuri perhatian, santri yang biasanya berseragam sederhana kini terlihat mengendarai sepeda motor dengan penuh semangat, mengunjungi teman, atau sekadar menikmati jajanan khas Aceh seperti timphan dan bu sie itek di warung-warung lokal.
"Rasanya seperti hidup dua dunia," kata Muhammad, seorang santri dari Dayah MUDI Samalanga, sambil tersenyum memegang handphone yang baru saja ia gunakan untuk mengabadikan momen bersama keluarga.
Kebebasan ini, meski sementara, terasa seperti tradisi baru bagi para santri. Di dayah, kehidupan mereka terpaku pada disiplin tinggi: bangun sebelum fajar, menghafal Al-Qur’an, dan mempelajari kitab kuning. Namun, saat libur Ramadan tiba, mereka berbaur dengan masyarakat yang juga dikenal agamis, menciptakan harmoni antara nilai dayah dan kehidupan sehari-hari.
"Amanah gurei, kami tetap harus jaga adab, tapi ada rasa lega bisa menikmati hal-hal kecil yang selama ini jauh dari kami," tambah Muhammad.
Bireuen, dengan jumlah pesantren terbanyak di Aceh dan lebih dari 47.000 santri, memang layak disebut sebagai jantung pendidikan Islam di provinsi ini. Ciri khas santri di Bireuen tak hanya terletak pada keilmuan mereka dalam bidang tauhid, fiqh, dan tasawuf, tetapi juga pada kemampuan mereka beradaptasi tanpa kehilangan identitas.
Selama liburan, santri tetap terlihat sopan dan santun, mencerminkan khas didikan dayah yang kuat. Namun, ada sisi humanis yang muncul: tawa bersama keluarga, obrolan santai di warung kopi, dan semangat menyambut Ramadan dengan cara yang lebih rileks.
Salah satu budaya unik yang terekspos selama periode ini adalah bagaimana santri menjadi "penggerak" kegiatan keagamaan di kampung. Mereka sering memimpin tadarus, mengajak anak-anak kecil mengaji, atau bahkan mengisi pengajian subuh di masjid setempat. Ini menunjukkan bahwa meski sedang libur, jiwa santri mereka tak pernah benar-benar berhenti.
"Kami diajarkan untuk memberi manfaat di mana pun kami berada," ungkap Aisyah, santriwati dari dayah Darussaadah Cot Tarom Baroh.
Liburan santri ini juga membawa berkah ekonomi bagi Bireuen. Warung makan dan pedagang kaki lima melaporkan lonjakan pendapatan, terutama dari santri yang ingin mencicipi kuliner lokal setelah berbulan-bulan hidup sederhana di dayah.
Kendaraan yang memadati jalan turut meningkatkan aktivitas tukang ojek dan penyedia jasa transportasi. "Ramadan kali ini terasa lebih meriah dengan kedatangan mereka," ujar seorang pedagang pulot bakar di Matang Geulumpang Dua.
Namun, lebih dari sekadar dampak ekonomi, liburan santri ini memperkuat identitas Bireuen sebagai Kota Santri. Perpaduan antara disiplin dayah dan kebebasan sementara di tengah keluarga menciptakan nuansa yang sulit ditemukan di tempat lain. Ini adalah cerminan dari masyarakat yang agamis namun tetap terbuka pada dinamika zaman.
Liburan santri menyambut Ramadan di Bireuen bukan sekadar cerita tentang pulang kampung. Ini adalah kisah tentang bagaimana ribuan jiwa muda menjalin kembali ikatan dengan keluarga, merasakan kebebasan dalam batas syariat, dan memperkaya budaya lokal dengan cara mereka sendiri.
Di tengah hiruk-pikuk jalanan dan aroma kopi sanger yang menggoda, Bireuen menegaskan diri sebagai Kota Juang yang tak hanya melahirkan santri berilmu, tetapi juga santri yang mampu membawa kehangatan dan makna dalam setiap langkah mereka. Ramadan di Kota Juangi ini, dengan segala keunikan dan warnanya, layak menjadi sorotan dunia sebagai Kota Santri. []
Editor : Hamdani
*) Penulis Adalah Kepala Dinas Pendidikan Dayah Kabupaten Bireuen