Iklan

terkini

Dayah: Jantung Pendidikan Islami dan Fondasi Kota Santri

Redaksi
Senin, Maret 24, 2025, 13:02 WIB Last Updated 2025-03-24T06:02:10Z
Oleh: Anwar, S.Ag, M.A.P *) 

Jika Kota Santri adalah sebuah tubuh, maka dayah adalah jantungnya. Bukan sekadar tempat belajar, dayah adalah denyut kehidupan yang memompa ilmu, akhlak dan budaya Islam ke seluruh lapisan masyarakat. Dari desa terpencil hingga kota besar, Dayah telah menjadi pilar yang tak tergoyahkan dalam sejarah Bireuen.

Peran dayah bukan hanya tentang mencetak santri yang pandai membaca kitab, tetapi juga tentang membentuk peradaban yang berpijak pada nilai-nilai keislaman. Dayah lahir sebagai jawaban atas kebutuhan akan pendidikan yang merata dan bermakna. 

Berabad-abad lalu, ketika akses ke sekolah formal masih langka, dayah hadir di tengah masyarakat untuk mengajarkan Al-Qur’an, hadis dan fiqih kepada siapa saja tanpa memandang status sosial. Di Bireuen, dayah seperti Mudi Mesra Samalanga atau Madinatuddiniyah Babussalam Blang Bladeh menjadi bukti nyata peran ini. 

Di bawah pohon rindang atau dalam ruang sederhana berdinding kayu, para santri duduk mengelilingi ulama, menyerap ilmu dari kitab kuning yang menjadi warisan intelektual Islam. Sistem ini sederhana, tetapi mendalam, mengandalkan hubungan erat antara guru dan murid yang lebih dari sekadar pengajaran, ia adalah pembinaan jiwa.

Lebih dari itu, dayah tidak pernah statis. Di Jawa, Pesantren Tebuireng memperkenalkan pelajaran bahasa dan ilmu modern di awal abad ke-20. Di Aceh, dayah-dayah turut mengajarkan keterampilan praktis seperti bercocok tanam atau berdagang, sesuai kebutuhan lokal. 

Di Bireuen, tradisi ini terus hidup, meski kini menghadapi tantangan untuk mengintegrasikan teknologi dan pendidikan kekinian. Dayah adalah jantung pendidikan karena ia mampu beradaptasi tetap setia pada akar agama, sambil membuka diri pada perubahan zaman.

Dayah juga adalah penjaga budaya Islam yang hidup. Di dalamnya, tradisi seperti pembacaan zikir maulid, shalawat bersama atau seni kaligrafi bukan sekadar ritual, tetapi cara untuk menanamkan cinta pada agama dan kepekaan pada keindahan. 

Di Aceh, dayah menjadi pusat tradisi lisan yang khas, seperti hikayat dan nasihat-nasihat dalam bahasa Aceh yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di Bireuen, perayaan hari besar Islam atau pengajian rutin di dayah sering menjadi momen yang menyatukan masyarakat, dari anak kecil hingga orang tua, menciptakan ikatan sosial yang kuat.

Budaya ini tidak hanya tentang pelestarian, tetapi juga tentang pengaruh. Santri yang kembali ke desa membawa serta nilai-nilai dayah seperti budaya disiplin, kesederhanaan dan gotong royong, yang kemudian menyebar ke keluarga dan komunitas mereka. 

Di Bireuen, misalnya, dayah sering menjadi tempat warga berkonsultasi dengan ulama tentang masalah sehari-hari, dari pernikahan hingga sengketa tanah atau pembagian ahli waris, menunjukkan bahwa dayah adalah lebih dari sekolah, ia adalah pusat kehidupan budaya.

Peran dayah sebagai jantung pendidikan dan budaya Islam menjadikannya fondasi alami bagi konsep Kota Santri. Tanpa dayah, visi ini hanyalah kosong. Di Bireuen, dayah-dayah yang tersebar di 17 kecamatan mencapai 191 unit saat ini adalah aset hidup yang bisa menggerakkan transformasi.

Dayah bisa menjadi pusat pendidikan yang inklusif, menghasilkan santri yang tidak hanya hafal Al-Qur’an dan baca kitab kuning tetapi juga mampu berwirausaha atau memimpin masyarakat. Mereka juga bisa menjadi penjaga identitas Bireuen sebagai kota yang berpijak pada syariat, sekaligus terbuka pada dunia.

Namun, peran ini tidak datang tanpa tantangan. Dayah di Bireuen, seperti di banyak tempat, menghadapi keterbatasan fasilitas, kurangnya dukungan ekonomi dan persaingan dengan gaya hidup modern yang menggoda santri muda. 

Untuk menjadi jantung yang kuat bagi Kota Santri, dayah harus diperbarui, bukan dengan meninggalkan akarnya, tetapi dengan memperkaya diri melalui teknologi, kolaborasi dengan pemerintah dan pemberdayaan masyarakat.

Dayah adalah napas yang menghidupkan Kota Santri. Dari dulu hingga kini, ia berdetak untuk menjaga ilmu dan budaya Islam tetap relevan. Di tangan Bireuen, peran ini bisa diperluas, menjadikan dayah tidak hanya sebagai warisan masa lalu, tetapi juga sebagai kekuatan yang membawa kabupaten ini melangkah ke masa depan.[]

*) Penulis adalah Anwar, S.Ag, M.A.P Kepala Dinas Pendidikan Dayah Kabupaten Bireuen
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Dayah: Jantung Pendidikan Islami dan Fondasi Kota Santri

Terkini

Topik Populer

Iklan