
Oleh : Dr (C). Ir. Muhammad Hatta, SST. MT. CPS. CPPS. CMPS. CCLS. CTRS. CCHS
Berbicara di depan umum sering kali menjadi momok yang menakutkan bagi banyak orang. Ada yang merasa gugup hingga suara bergetar, ada pula yang pikirannya tiba-tiba kosong seolah kata-kata menghilang begitu saja.
Fenomena ini dikenal sebagai mental block, yaitu hambatan psikologis yang membuat seseorang kesulitan untuk bertindak, meskipun secara intelektual ia tahu apa yang harus dilakukan.
Dalam dunia public speaking, mental block sering kali muncul dalam tiga bentuk utama sebagaimana dijelaskan oleh Robert Dilts: hopelessness (merasa tidak memiliki harapan untuk mampu berbicara dengan baik), helplessness (merasa tidak bisa berbicara tanpa bantuan), dan worthlessness (merasa mampu berbicara tetapi merasa tidak layak untuk didengar).
Jika tidak diatasi, ketiga hal ini dapat menjadi tembok besar yang menghalangi seseorang untuk berkembang sebagai pembicara yang percaya diri.
Rasa hopelessness dalam public speaking biasanya muncul dari keyakinan bahwa berbicara di depan umum adalah bakat bawaan, bukan keterampilan yang bisa dipelajari.
Padahal, penelitian Carol Dweck tentang growth mindset menunjukkan bahwa kemampuan apa pun, termasuk public speaking, dapat dikembangkan dengan latihan dan strategi yang tepat.
Banyak pembicara hebat, seperti Dale Carnegie, awalnya bukanlah orator alami. Mereka membangun keterampilan berbicara melalui pengalaman dan latihan yang konsisten.
Oleh karena itu, langkah pertama untuk mengatasi hopelessness adalah mengubah pola pikir. Alih-alih berkata, “Saya tidak bisa,” ubahlah menjadi, “Saya belum bisa, tetapi saya bisa belajar.”
Dengan latihan bertahap, seperti berbicara di depan cermin, merekam latihan berbicara, atau memulai dengan forum kecil, kepercayaan diri akan tumbuh secara perlahan.
Di sisi lain, helplessness sering kali membuat seseorang merasa tidak mampu berbicara di depan umum tanpa bantuan penuh dari teks, slide presentasi, atau dukungan orang lain.
Ketergantungan ini menciptakan ilusi bahwa tanpa alat bantu, ia akan gagal total. Padahal, menurut penelitian James C. McCroskey dalam Communication Apprehension Theory, kecemasan berbicara dapat dikurangi dengan meningkatkan kesiapan berbicara secara spontan dan bertahap memperluas eksposur terhadap audiens. Cara terbaik untuk mengatasi helplessness adalah dengan mengurangi ketergantungan pada naskah.
Gunakan teknik mind mapping untuk menyusun gagasan utama alih-alih menghafal kata demi kata. Selain itu, latihan improvisasi, seperti berbicara tanpa teks selama beberapa menit tentang topik tertentu, akan membantu meningkatkan fleksibilitas berpikir.
Dengan membiasakan diri berbicara secara spontan, ketergantungan terhadap naskah dan alat bantu visual akan semakin berkurang.
Namun, ada kalanya seseorang sudah memiliki kemampuan berbicara yang cukup baik, tetapi tetap merasa tidak layak untuk didengar. Ini adalah bentuk worthlessness yang sering kali berakar pada ketakutan akan penolakan atau kritik dari audiens.
Menurut Brené Brown dalam The Power of Vulnerability, rasa tidak layak ini muncul karena seseorang terlalu berfokus pada bagaimana ia dinilai oleh orang lain, bukan pada pesan yang ingin disampaikan.
Padahal, public speaking bukan tentang kesempurnaan pribadi, tetapi tentang dampak yang bisa diberikan kepada audiens. Salah satu cara mengatasi worthlessness adalah dengan mengubah fokus dari “Apakah saya cukup baik?” menjadi “Bagaimana saya bisa memberikan manfaat kepada audiens?”
Dengan perspektif ini, pembicara akan lebih merasa bahwa kehadirannya di panggung bukan untuk dihakimi, melainkan untuk berbagi wawasan dan inspirasi. Selain itu, memahami keunikan diri sendiri juga sangat penting. Setiap orang memiliki sudut pandang, pengalaman, dan gaya berbicara yang berbeda. Dengan mengenali kekuatan unik ini, seorang pembicara akan lebih percaya diri dan mampu membangun koneksi yang lebih kuat dengan audiensnya.
Mental block dalam public speaking bukanlah batasan permanen, melainkan hambatan yang bisa diatasi dengan kesadaran diri, latihan, dan perubahan pola pikir. Dengan menyalakan optimisme untuk mengatasi hopelessness, membangun kemandirian untuk melawan helplessness, dan menemukan nilai diri untuk menyingkirkan worthlessness, seseorang dapat bertransformasi dari individu yang takut berbicara menjadi pembicara yang percaya diri dan inspiratif.
Seperti panggung yang awalnya gelap lalu diterangi cahaya, setiap langkah yang diambil dalam menembus mental block adalah satu cahaya yang semakin menerangi perjalanan menuju kepercayaan diri dalam berbicara. []
Editor: Hamdani
*) Penulis adalah Koordinator Humas dan Kerjasama Politeknik Negeri Lhokseumawe dan Mahasiswa Program Doktoral IAIN Lhokseumawe