Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Universitas malikussaleh (UNIMAL) Aceh Utara, Mohamad Muhaymin. (Foto/Hamdani)
Lhokseumawe - Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Universitas malikussaleh (UNIMAL) Aceh Utara, Mohamad Muhaymin, menegaskan bahwa pemerintah diduga telah melanggar hukum dengan tidak mencairkan tunjangan kinerja (tukin) kepada dosen berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun 2025. Hal ini diungkapkan Muhaymin pada media Kamis, (16/01/2025).
"Hal ini bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan peraturan terkait lainnya yang mewajibkan pemerintah memberikan hak tersebut kepada seluruh PNS, termasuk dosen," katanya.
Tambahnya lagi, menurut Pasal 80 UU No. 5/2014, PNS berhak mendapatkan tunjangan, termasuk tukin, yang dihitung berdasarkan evaluasi jabatan dan capaian prestasi kerja.
"Tunjangan kinerja ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan kualitas kinerja PNS, termasuk para dosen yang berperan penting dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia," ujarnya.
Muhaymin mengatakan, Pasal 81 dari Undang-Undang yang sama menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai gaji dan tunjangan PNS diatur dalam Peraturan Pemerintah, yang diikuti dengan aturan teknis lainnya, termasuk Peraturan Kepala BKN No. 20 Tahun 2011 yang mengatur penghitungan tukin.
"Namun, pada tahun 2025, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) melalui Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal, Togar M. Simatupang, mengungkapkan bahwa tidak ada anggaran untuk tukin dosen. Menurutnya, penyebab utama ketidakpastian ini adalah perubahan nomenklatur kementerian, yang mengakibatkan ketidakjelasan anggaran. Meskipun upaya pengajuan anggaran sudah dilakukan ke DPR dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), kenyataannya hingga kini tukin dosen belum cair," paparnya.
"Dengan adanya ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah dan aturan hukum yang berlaku, kami menganggap bahwa pemerintah telah melanggar hukum," lanjutnya.
Tambahnya, mengingat tukin adalah hak yang diatur oleh undang-undang, ketidakmampuan pemerintah untuk mencairkan tukin kepada dosen pada tahun 2025 jelas merupakan bentuk pengabaian terhadap hak-hak PNS, khususnya dosen, yang sudah lama berjuang untuk mendapatkan hak tersebut.
"Penting untuk dicatat bahwa tukin merupakan insentif bagi dosen untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Tanpa adanya pencairan tukin, maka para dosen yang seharusnya mendapatkan apresiasi atas kinerja mereka justru menghadapi ketidakpastian. Hal ini berpotensi merusak moral dosen yang telah mengabdi kepada negara dan masyarakat," ungkapnya.
"Kami juga menilai bahwa proses pengajuan tukin yang sangat lambat dan penuh birokrasi ini memperburuk keadaan. Proses pengajuan anggaran yang rumit, ditambah dengan perubahan nomenklatur kementerian, hanya semakin menambah kesulitan bagi para dosen yang menantikan hak mereka. Ini adalah proses yang tidak efisien dan tidak transparan, dan tidak seharusnya terjadi dalam sistem pemerintahan yang baik," lanjutnya.
Terkait hal tersebut, maka pihaknya mendesak Presiden Prabowo turun tangan terkait Tukin dosen ASN ini.
"Kami mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk turun tangan langsung dan bertanggung jawab atas persoalan ini. Perubahan nomenklatur kementerian yang menyebabkan ketidakjelasan anggaran tukin dosen adalah keputusan yang diambil di bawah kepemimpinan beliau," ujarnya.
Keputusan ini menyebabkan kebingungannya di lapangan, serta memperburuk nasib para dosen yang sudah menunggu lama untuk mendapatkan hak mereka.
"Sebagai pemimpin tertinggi negara, Presiden Prabowo Subianto harus memberikan solusi konkrit dan memastikan bahwa tukin dosen segera dikeluarkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," katanya.
Kami berharap agar pemerintah "segera menyelesaikan masalah ini agar tukin dosen dapat cair tanpa penundaan lebih lanjut, demi kesejahteraan dosen, kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah," tutupnya. [Hamdani]