Oleh: Hamdani, SE.,MSM*)
Saya melihat banyak politisi dan para pendukungnya yang bawa perasaan alias baper pasca "kalah" dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) lalu, sehingga akhirnya menumpahkan rasa sesal dan kesalnya di serata media sosial (medsos).
Lalu sumpah serapah dan aneka kutukan pun ditujukan kepada pemenang, seakan-akan mereka kalah karena teraniaya. Di bagian lain, ayat-ayat Kitab Suci pun meluncur lancar, untuk memperkuat argumen, segala aturan hukum Tuhan pun melantun indah.
Harusnya menjadi politisi itu jangan cengeng, para pendukungnya pun jangan sampai fanatik buta, sehingga apapun cerita kandidat jagoannya harus menang. Harus dan harus. Mana boleh begitu.
Sejatinya kalau sudah bertarung ya harus siap menang dan kalah, kalau menang jangan jumawa, kalau kalah akui kemenangan orang. Jangan lah ketika sudah kalah cari-cari celah dan mengadu ke sana ke mari jikalau lawannya curang.
Padahal kalau mau jujur, semua kandidat juga tidak bersih-bersih amat dalam berusaha untuk mencapai singgasana kekuasaan. Karena mereka bukan sekumpulan wali, hanya politisi yang sedang mengadu peruntungan.
Tapi begitulah kalau sudah kalah, termasuk mereka akan menumpahkan rasa kesal kepada saya mungkin, karena dianggap membela yang benar, lalu saya dituding cari muka. Padahal muka saya tak pernah hilang, jadi tak perlu saya cari-cari.
Lagian subtansi dari catatan kecil ini bukan sedang menyoroti pilkada di daerah saya saja Aceh dan Bireuen, tapi secara general, yakni Indonesia. Karena hampir semua bersikap seperti yang saya gambarkan di atas. Sehingga saya merasa miris.
Padahal kalau ada umur panjang, masih ada kesempatan untuk bertarung pada pilkada lima tahun mendatang. Sambilan mempersiapkan "peluru" untuk bertarung lagi ke depan. Karena semakin matang persiapan, maka semakin besar peluang untuk menang dan meraih kekuasaan.
Tapi percayalah, tak ada yang gratis, tetap butuh cost politics dan mari sama-sama kita katakan, no money politics. Insya Allah, Indonesia Maju.
Untuk saat ini, mari kita dukung yang sudah menang, mari berbesar hati, berbesar jiwa, bek le syeh syoh. Bek cengeng.
Sekali lagi, saya mohon maaf, tak ada maksud saya menyindir siapapun dalam tulisan ini, saya hanya mencoba menyikapi berdasarkan fenomena umum. Jadi tulisan ini juga tak mewakili profesi saya. []
*) Penulis adalah seorang dosen dan juga jurnalis
Disclaimer: Semua tulisan pada Rubrik SUDUT PANDANG bukanlah lah produk jurnalistik, juga tidak mewakili pandangan Redaksi Juang News. Untuk itu, setiap tulisan yang dimuat di rubrik SUDUT PANDANG itu menjadi tanggung jawab pribadi si penulis. Karena sesuai nama rubrik, semua konten dari tulisan tersebut, merupakan opini pribadi dari sudut pandang personal penulis. Demikian. []