Okeh: Hamdani, SE.,MSM*)
Menurut saya begitu, bahwa politik bukanlah agama, walau saya juga tak sepakat politik dipisahkan dengan agama, karena itu sama dengan sekuler. Tapi setidaknya, kita jangan fanatik buta, lalu memusuhi orang berbeda pilihan.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan berlangsung serentak di seluruh Indonesia pada Rabu, 27 Nopember 2024 mendatang merupakan dinamika normal yang dilakukan oleh negara yang menganut sistem demokrasi, termasuk Indonesia.
Lazim juga disebut pesta demokrasi, jamaknya pesta, harusnya disikapi dengan suka cita dan perasaan gembira. Tapi mirisnya, yang terjadi adalah sebaliknya, suasana menjelang pilkada menjadi menegangkan, karena jadi ajang debat panas antar pendukung pasangan calon (paslon) kepala daerah, setiap orang yang berbeda pilihan akan saling memusuhi. Akhirnya ketegangan tercipta.
Tak cukup di dunia nyata, "perang tanding" dan adu debat juga terjadi di dunia maya antar pendukung paslon, justru di dunia maya lebih seru dan sangat masif, kadang terkesan jadi lucu dan konyol, pun terkadang jadi ambigu. Demikianlah.
Pada hakikatnya demokrasi adalah kebebasan dalam bersikap dan memilih. Tapi politisi kita tak siap demikian, demikian juga para pendukungnya juga tak siap berbeda, kalau berbeda langsung dicap musuh, dan harus dilawan. Padahal seharusnya tak perlu demikian, karena kita tak sedang membela agama, jadi tak harus "syahid" dalam membela tuan kita.
Katakanlah di Provinsi Aceh, semua paslon kepala daerah adalah beragama Islam, dan memilih salah satu calon dan berbeda dengan pilihan orang lain tentu bukan suatu dosa. Walau kadang dalam jualan politik, bumbu agama kerap diperdengarkan oleh para paslon kepala daerah maupun simpatisan, demi meraup suara dan simpati massa. Tapi buat saya, itu hanya kecap manis, lip service, saya tak begitu yakin dengan janji politisi.
Terkadang di media sosial saya iseng mencoba untuk nimbrung dalam "arena debat" antar pendukung paslon, tapi hanya pada akun-akun yang saya kenal pemiliknya dan mereka mengenal saya. Cuma sedihnya, karena saya mencoba berargumen dari sisi yang berbeda sudut pandang, mereka yang saya anggap kawan langsung bereaksi negatif dan karena dianggap tak sepaham, langsung dicap saya berada di kelompok musuh. Lalu saya dianggap lawan, lalu saya dianggap timses paslon lain. Begitulah.
Padahal saya tak pernah menunjukkan keberpihakan, baik di dunia nyata pun di dunia maya. Biarlah pilihan saya ada di bilik suara, kecuali kepada keluarga dan kawan-kawan terdekat baru saya beritahu pilihan saya.
Tapi saya tak mencoba memengaruhi mereka untuk sama pilihan dengan saya, meski keluarga inti saya sekalipun. Pengalaman di pileg beberapa waktu lalu, saya berbeda pilihan politik dengan istri, tapi tak ada masalah buat kami, tak harus terjadi debat dan konflik dalam rumah tangga , sampai harus pisah ranjang misalnya. Karena itulah sejatinya demokrasi.
Untuk itu, saya berharap pendukung paslon kepala daerah, mari kita nikmati pilkada serentak ini seperti sejatinya sebuah pesta, penuh kegembiraan dan suka cita, jangan ciptakan permusuhan horizontal. Maka mulai hari ini Minggu, 24 Nopember 2024 dimana dalam tahapan pilkada serentak sudah memasuki masa minggu tenang, maka mari kita tenangkan diri, paslon juga harus menenangkan para pendukungnya untuk tenang sekejap.
Demikian juga buat masyarakat yang masih ragu-ragu, bisa tenang lagi berpikir untuk menentukan pilihan, kalaupun masih ragu, maka minta petunjuk pada Allah Swt, dengan cara Salat Istiqarah. Mudah-mudahan diberi petunjuk untuk tidak salah memilih, walau pun tak ada pilihan yang salah, karena ini bukan memilih agama. Tapi tentunya kita mendapat petunjuk dari Allah untuk memilih pemimpin yang terbaik, yang mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat di dunia dan akhirat. Amin. []
*) Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Lhokseumawe