Aceh Besar - Pilkada merupakan kesempatan berinvestasi pahala bagi masa depan kita sebagai umat Islam. Jika kita memilih pemimpin yang baik, berintegritas, kompeten, dan berkomitmen terhadap pelaksanaan syariat Islam, setiap kebaikan yang dilakukannya akan mengalirkan pahala kepada kita sebagai pemilihnya.
Dosen Universitas Teuku Umar (UTU), Ismu Ridha, M.A, Ph.D, menyampaikan hal itu dalam khutbah Jumat di Masjid Asy-Syuhada Lampanah, Kecamatan Indrapuri, 18 Oktober 2024 bertepatan dengan 15 Rabiul Akhir 1446 H.
Manager Rumah Amal Teuku Umar ini menjelaskan, jika kita memilih pemimpin yang buruk, tidak berintegritas, dan tidak berkompeten, maka kita turut menanam keburukan yang merugikan tidak hanya kehidupan dunia kita, tetapi juga di akhirat kelak.
Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa yang menunjukkan kebaikan, maka ia mendapatkan pahala sepadan dengan orang yang melakukannya." (HR. Abu Dawud)
Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa mengajak kepada petunjuk (amal baik), maka ia mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang melakukannya. Dan barang siapa yang mengajak pada kesesatan, maka ia mendapatkan dosa setimbang dengan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa orang yang melakukannya." (HR. Muslim)
“Hadis-hadis tersebut menegaskan, Pilkada adalah kesempatan untuk investasi pahala atau dosa. Jika kita memilih pemimpin yang baik, maka kita akan mendapat pahala dari setiap kebaikan yang dilakukan oleh pemimpin tersebut. Sebaliknya, jika kita memilih pemimpin yang buruk, maka kita juga ikut menanggung dosanya. Pilihan ada di tangan kita masing-masing,” urainya.
Menurut Ismu Ridha, Pilkada kini berada di ambang pelaksanaan. Sebuah pesta demokrasi yang dinanti oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk umat Islam. Dalam menghadapi momentum ini, hal penting yang perlu kita renungkan:
Pertama, memilih pemimpin dalam perspektif Islam merupakan persoalan yang sangat serius. Tidak hanya berdampak pada masa depan umat, tetapi juga merupakan bagian dari amal yang akan dihisab dan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt di akhirat kelak.
Kedua, politik uang (money politic) adalah perbuatan haram menurut fatwa MUI dan kesepakatan para ulama. Suap dalam Pilkada jelas keharamannya. Rasulullah saw bersabda:
"Allah melaknat orang yang menyuap, penerima suap, dan perantara suap." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
“Praktik suap ini mendatangkan banyak kemudharatan dan keburukan. Sayangnya, praktik risywah (suap) masih dianggap lumrah oleh sebagian masyarakat dan politisi. Ada pepatah yang mengatakan, jika ingin menang, harus ada uang. Ini mencerminkan bahwa suap dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan tidak berdosa. Padahal, harta yang diperoleh dari hasil suap akan dihisab di akhirat,” ungkapnya.
Lebih parah lagi, kata Ismu Ridha, ada di antara kita yang bangga menerima suap dan bahkan menceritakannya kepada orang lain. Rasulullah saw bersabda: "Setiap umatku akan mendapat ampunan kecuali orang-orang yang berterus terang dalam berbuat dosa." (HR. Bukhari dan Muslim)
“Praktik risywah ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam dan mendatangkan banyak keburukan bagi kehidupan kita di dunia maupun akhirat,” tegasnya. [Sayed M. Husen]