Oleh : Tgk. Mukhlisuddin*)
Berhaji merupakan rukun Islam yang kelima. Sebuah rukun agama yang sangat diidamkan bagi banyak Muslim di Indonesia maupun di dunia. Bagi yang sudah menunaikan Haji khususnya di Indonesia mempunyai pangilan tambahan di depan namanya, yaitu “Pak Haji” atau “Bu Hajjah”.
Persoalan gelar haji kembali mengemuka saat prosesi lamaran Thariq Halilintar dan Aaliyah Massaid. Sang Ibu Geni Faruk memotong sambutan hanya karena saat memberi sambutan Atta Halilintar tidak menyebut Thariq sebagai Haji Thariq. Bu Geni merasa anaknya sudah menunaikan ibadah haji, sehingga bisa dipanggil Haji Thariq. Thariq sendiri memang sudah pernah mengikuti ibadah haji di usia dua bulan.
Bermula kasus inilah, tentang pencantuman gelar haji bagi yang sudah menjalankan ibadah kembali menarik dibahas, bahkan muncul kesimpulan yang menyebutkan pencantuman gelar haji itu adalah warisan kolonial Belanda. Asumsi ini didasarkan pada catatan sejarah dalam rentang tahun 1824-1859, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda melakukan pengetatan pemberangkatan haji kepada umat Islam di Nusantara dan memberikan tanda "gelar haji" yang digunakan untuk mengontrol dan mencatat pergerakan kaum nasionalis.
Pasalnya, kebanyakan haji ini membawa gerakan kemerdekaan. Sepulang dari haji, mereka menjadi seorang yang militan dalam pergerakan, sebenarnya alasan ini tidak lantas menyimpulkan bahwa tradisi penyematan gelar haji adalah peninggalan belanda dan hanya di Indonesia saja.
Pandangan tentang penyematan gelar haji sebagai warisan Belanda juga dikuatkan oleh sejarawan dan pendiri Komunitas Historia Indonesia, Asep Kambali dalam unggahan TikToknya yang menyebutkan Gelar haji adalah penyematan Belanda untuk pemberontak kala itu. Asep menuturkan, gelar Haji merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan penyebaran paham Pan-Islamisme dari ibadah haji yang merebak pada awal abad ke-20. Salah satunya sejak 1916, pemerintah Belanda menyematkan gelar Haji di depan nama setiap penduduk muslim yang ada di Hindia Belanda dengan maksud agar mudah diawasi.
Berbeda dengan pandangan di atas, tokoh sejarawan NU Abdul Mun'in dikutip NUOnline, Gelar haji sudah digunakan oleh umat Islam sejak zaman dahulu, tak terkecuali di Indonesia. Beberapa naskah sudah menyebut orang dengan bergelar haji, misalnya Haji Sunda dalam Babad Cirebon, Karenanya, gelar haji disandang oleh umat Islam bukan atas dasar ordonansi Belanda pada 1859, melainkan sudah lebih lama dari itu. Ia juga menyebut para ulama dan raja di Riau sejak dahulu sudah menggunakan gelar itu pada abad 17 dan 18.
Sejalan dengan pandangan Abdul Mun'in, Antropolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi menyatakan bahwa tradisi seperti itu sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Di dunia Islam Melayu bagian lain juga begitu, baik Malaysia, Singapura, Brunei, dan bahkan Thailand Selatan.
Tradisi di Mesir Utara bahkan bukan hanya memberi gelar haji, tapi juga melukis rumahnya dengan gambar Ka'bah dan moda transportasi yang digunakan ke Mekkah.
Jika menelaah sejarah Rasulullah atau Shahabat Nabi, ada benarnya panggilan gelar haji belum dikenal saat itu. Tetapi, menurut Dr. Bakr Abu Zaid, gelar haji pertama kali beliau temukan di kitab Tarikh Ibnu Katsir ketika pembahasan biografi ulama yang wafat tahun 680an.
Secara umum, tidak ada nash Alqurah dan hadist tentang keharusan memanggil sebutan haji atau hajjah bagi orang Islam yang telah menunaikan ibadah haji. Terlepas sejak kapan penyebutan atau gelar haji itu muncul, ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Di antara ulama yang membolehkan penyematan gelar haji bagi jamaah haji yang telah menyempurnakan pelaksanaan Tahallul haji yaitu Imam An-Nawawi rahimahullah. Hal itu terungkap dalam karyanya Kitab al-Majmu' Syarh al-Muhazzab.
Menurutnya, dibolehkan untuk menyebut orang yang sudah menunaikan ibadah haji sebagai Haji setelah dia selesai tahalul walaupun setelah bertahun-tahun kemudian, dan juga setelah wafatnya. Sama sekali tidak ada kemakruhan sama sekali dalam hal demikian
Begitupula, penyematan gelar yang menyenangkan seseorang juga dibolehkan, menurut Imam Nawawi sebagaimana banyak hadist yang menyebutkan gelar "Asshiddiq" sebagai gelar sahabat Abu Bakar, Radhiallahu'anh.
Sementara itu ada juga kelompok ulama yang melarang penyematan gelar haji, karena akan membuat seseorang menjadi riya dengan gelar tsb. Pendapat yang melarang merujuk pada tradisi penyebutan gelar semacam ini sama sekali tidak pernah dikenal di masa Nabi. Selain itu, tujuan ibadah adalah pahala dari Allah SWT bukan gelar-gelar itu.
Mengkomparasi dua sudut pandang tersebut, idealnya bagi yang mendapat sematan gelar "Pak Haji atau Bu Hajjah" harus benar-benar menata hati yang tidak membuat berpaling dari keikhlasan beribadah dan merasa diri "lebih" dengan gelaran haji, sebab memang menjadi sebuah nikmat tersendiri bisa berangkat haji. Haji yang mabrur tak ada balasan kecuali hanya surga.
Memiliki gelar haji bisa menjadi nikmat, tapi juga ujian tersendiri. Nikmat karena setiap hari akan selalu diingatkan untuk menjadi orang yang lebih baik lagi, selalu mengamalkan kebaikan, dan malu kepada Allah jika pemilik gelar haji kembali bermaksiat kepada Allah.
Hanya kadang menjadi ujian kepada seseorang, apakah hajinya ikhlas untuk Allah SWT atau agar disebut Pak Haji, Bu Hajah. Banyak yang menyangka bahwa gelar haji hanya di Indonesia saja. Bahkan ada juga yang membuat teori bahwa gelar haji itu diciptakan oleh Belanda di masa penjajahan untuk mengidentifikasi dengan mudah mereka yang pernah ke Mekah.
Perlu juga dipahami, penyematan gelar haji termasuk 'Urf (tradisi di masyarakat), sebagaimana disampaikan As-Subki ketika membahas biografi Hassan bin Said al-Haji. Beliau mengatakan, gelar al-Haji ini menggunakan bahasa 'Ajm (bukan bahasa Arab), untuk mereka yang telah berangkat haji. Mereka menyebut orang yang bernah berhaji ke Baitullah Al-Haram dengan Haji. (Thabaqat As-Syafiiyah Al-Kubra, 4/299). []
Publisher : Hamdani
*) Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Fungsional Kec. Sakti, Kab. Pidie juga Ketua IPARI (Ikatan Penyuluh Agama RI) Kab. Pidie.