Oleh: Zahrol Fajri, S.Ag, M.H
Rancangan Qanun Grand Desain Syariat Islam (Raqan GDSI) adalah rancangan induk yang berisi peta jalanpelaksanaan syariat Islam, yang menjadi pedoman dan acuan bagi pemerintah dan masyarakat. GDSI ini diperlukan, mengingat syariat Islam sebagai tuntunan agama yang bersifat menyeluruh, mencakup semua aspek kehidupan. Karena itu, pelaksanaannya merupakan kegiatan terpadu yang melibatkan semua pihak, baik dinas/badan/instansi maupun masyarakat luas pada umumnya. Pelaksanaan syariat Islam bukanlah merupakan kegiatan sektoral yang hanya diurus oleh dinas atau instansi tertentu saja. Koordinasi, konsultasi, dan singkronisasi antar instansi untuk menyamakan persepsi dan langkah, bahkan kalau perlu untuk menentukan koordinator (top leader) untuk suatu program tertentu merupakan sesuatu yang mutlak.
Lebih spesifik dapat dijelaskan, kebijakan pelaksanaan syariat Islam tidak hanya bertumpu pada Dinas Syariat Islam (DSI), tetapi di bidang-bidang tertentu harus dikerjakan dinas atau badan lain agar perjalanannya dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian, Rancangan Qanun GDSI ini diharapkan sebagai pedoman pembangunan Aceh berbasis syariah di semua lini kehidupan masyarakat Aceh dan akan dikerjakan semua instansi/lembaga/badan sesuai dengan tupoksinya masing-masing.
Raqan GDSI mengatur prinsip-prinsip atau nilai-nilai syariat Islam pada semua bidang pembangunan di Aceh. Bidang-bidang pembangunan seperti bidang hukum, pendidikan, sosial, lingkungan, tata kelola pemerintahan, olah raga, ekonomi dan sebagainya, akan digali dari dalil-dalil Al-Qur’an, hadits, fiqih mazhab dan realitas sosial (adat-budaya). Semua instansi/badan dan masyarakat harus berpikir dan selanjutnya melahirkan suatu kebijakan dan program kegiatan yang berpedoman pada prinsip-prinsip atau nilai-nilai syariat Islam yang telah disusun dalam GDSI. Dengan demikian, dalam GDSI ini nantinya tidak menyusun kebijakan, program dan kegiatan setiap instansi pemerintah, tetapi menyusun prinsip dan nilai syariat Islam, indikator dan alat ukur kinerja serta target. Ketika dinas/instansi pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota merencanakan dan melakukan pembangunan berbasis syariah, maka acuan atau pedomannya adalah prinsip atau nilai syariah yang ada dalam GDSI.
Di samping hal di atas, pelaksanaan GDSI akan dikerjakan selama 20 tahun dari tahun 2025 sampai 2045, menyesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJPA). Secara subtansi, GDSI berisi tentang executive summary, materi, dan tabel pedoman pelaksanaan. Executive summary adalah ringkasan materi dari GDSI, sedangkan materi adalah tahapan, kebijakan, sasaran, strategi indikator, dan evaluasi. Adapun Tabel Pedoman Pelaksanaan terdiri atas bidang Pemerintahan, Hukum dan Politik, Perlindungan Masyarakat dan Kesatuan Bangsa, Lingkungan Hidup, Kehutanan, Pertambangan, Kelautan, Peternakan, Perkebunan, Pertanian, dan Pengairan, Kesehatan dan Rumah Sakit, Perindustrian dan Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah, Pemuda dan Olahraga, Keuangan, perbankan, lembaga keuangan syariah, perekonomian, Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika, Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk, Sosial, Kependudukan, Penanggulangan Bencana dan Pemberdayaan Masyarakat.
Pembangunan Aceh berbasis syariah terhadap semua bidang di atas, dilakukan selama 4 (empat) tahap, tahap 1 dari tahun 2025 s.d. tahun 2030, tahap II dari tahun 2030 s.d. tahun 2035, tahap III dari tahun 2035 s.d. tahun 2040, dan tahun 2040 s.d. 2045. Tahap Pertama, usaha perubahan paradigma di dalam masyarakat, aparatur dan masyarakat internasional tentang makna pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Dapat dikatakan fase ini adalah fase penanaman kembali makna syariat Islam di Aceh kepada semua pihak agar dapat disepakati bahwa pelaksanaan syariat Islam sebenarnya adalah pelaksanaan Dín al-Islám itu sendiri. Sejauh ini tingkat keberhasilan pelaksanaan syariat Islam cenderung diukur pada tingkat pelanggaran yang dapat diselesaikan melalui hukum cambuk. Karena itu, isu pelaksanaan syariat Islam di level internasional cenderung dipandang sebagai upaya radikalisasi atau Talibanisasi di Aceh.
Tahap kedua, secara garis besar memasuki fase di mana setiap jiwa, pikiran, dan tingkah laku orang Aceh harus berlandaskan Islam. Adapun motto yang akan disosialisasikan adalah “Syari’at Islam is inside of heart and mind, while Dín al-Islám out side of body of Acehnese.” Setelah melewati fase kulturalisasi syariat Islam pada tahap sebelumnya, maka tahap berikutnya adalah syariat Islam diwujudkan di dalam budaya masyarakat Aceh. Dinul Islam menjadi inti kehidupan rakyat Aceh di dalam semua bidang. Dín al-Islám ditransformasi menjadi proses simbol, identitias, ritual kehidupan, multi-kultural, dan lain sebagainya. Akhirnya, pada tahapan kedua ini, wujud Dín al-Islám nantinya akan dipindahkan wacananya sebagai pola “ilmu baru” di dalam masyarakat. Dín al-Islám sebagai sistem religi masyarakat Aceh, sistem spiritual, sistem pemikiran, sistem pendidikan, dan sistem ketahanan masyarakat.
Tahap ketiga, dalam fase ini, Aceh diprediksi berdiri kokoh di bawah Dín al-Islám. Generasi baru Aceh yang telah disiapkan akan membangun Aceh yang berdasarkan pada SI as spirit of society. Tahapan ketiga ini berusaha untuk merealisasikan masyarakat Aceh sebagai model masyarakat yang telah sampai pada kondisi negeri yang ber- Dín al-Islám. Di mana dalam fase ini, tumbuhnya ekonomi yang mapan, terutama mereka yang memiliki keahlian dan mampu memanfaatkan peluang usaha, karena hubungan antara manusia sudah terkoneksi secara global. Kemudian, harapan hidup masyarakat Aceh lebih panjang. Hal ini perlu dipikirkan agar proses kesinambungan antar generasi berlangsung dengan baik.
Selanjutnya, pola keagamaan masyarakat Aceh berlandaskan pada ideologi Dín al-Islám. Pola kehidupan ini sebenarnya bukan ingin melawan padangan yang mengatakan Islam sebagai ancaman global, tetapi untuk menampakkan bahwa Aceh mampu menerapkan ideologi Islam tanpa harus melakukan kekerasan. Ideologi Dín al-Islám bukan juga ingin menghadang ideologi kebangsaan, namun ideologi ini adalah untuk menjadi benteng pertahanan di dalam sistem kebudayaan dan sistem pertahanan bangsa.
Dalam fase ini juga, falsafah dan paradigma masyarakat selalu mengedepankan Dín al-Islám. Maksudnya adalah pola pengambilan dasar pijakan mengenai konsep-konsep arah pembangunan di Aceh harus memikirkan kerangka berpikir sebagaimana telah ditumbuhkan pada tahapan pertama. Dengan begitu, ketika sistem berpikir masyarakat sudah berlandasrkan Dín al-Islám, maka masyarakat luar Aceh, baik nasional maupun internasional yang datang ke Aceh akan melihat rakyat, ruang dan tata kelola pemerintah yang sudah dijiwai oleh spirit Islam.
Tahapan Keempat, fase ini syariat yang di bawah Dín al-Islám (DI) sudah menjadi protokol dalam masyarakat Aceh, yang akan berhadapan dengan perubahan masyarakat, yang kendalinya bukan lagi pemerintah. Konsep pendidikan yang berbasikan Dîn al-Islam di dalam era digital state. Dengan adanya perubahan masyarakat yang serba terkoneksi secara elektronik atau internet, maka konsep pendidikan yang islami juga perlu dicari secara holistik. Konsep kewilayahan Aceh yang akan telah mengalami re-grouping dan rebalancing untuk bisa bertahan dibawah karakter ke-Aceh-an. Konsep pembangunan yang mengamankan “norma, etika, dan nilai” di dalam masyarakat Aceh dalam era keberkurangan fungsi manusia yang digantikan oleh mesin atau ICT.
Dari uraian tentang Subtansi Raqan GDSI di atas, maka persoalan hukum adalah bagian kecil dari sejumlah bidang Pembangunan yang dilakukan di Aceh. Itu pun, dalam hukum Islam harus dilakukan pemilahan, mana hukum yang perlu diatur dan tidak diatur oleh negara. Hukum Islam yang membutuhkan kekuasaan negara, seperti perkawinan, waris, wakaf, perdata, pidana, perekonomian, perdagangan, perbankan, hubungan antara negara, dan kesehatan dan lain -lain. Hukum Islam yang tidak membutuhkan kekuasaan negara, misalnya adalah hukum yang berhubungan dengan adat sopan santun dan ibadat murni seperti shalat dan puasa. Sedangkan hukum Islam dapat dilaksanakan dengan atau tanpa kekuasaan negara, misalnya adalah hukum mengenai zakat dan haji. Di masa lalu, tanpa campur tangan kekuasaan negara, ibadah zakat dan haji masih dapat dilaksanakan oleh masyarakat Muslim, sekalipun tidak begitu efektif.
Hukum Islam yang akan dijadikan regulasi atau peraturan perundang-undangan di Aceh dalam bentuk qanun merupakan kebijakan pelaksanaan urusan pemerintahan bidang syariat Islam yang sepenuhnya diselenggarakan Pemerintahan Aceh, bukan urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota. Dengan demikian, tidak dibenarkan Pemerintahan Kabupaten/Kota menyusun regulasi yang menyangkut pemidanaan baru tentang pelaksanaan syariat Islam yang belum diatur oleh Pemerintahan Aceh, apalagi menyusun regulasi syariat Islam yang bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan Pemerintahan Aceh dalam Qanun Aceh dan Peraturan Gubernur Aceh dan kebijakan lainnya.
Kaitan dengan regulasi tentang busana Islami, sebagaimana yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, merupakan kebijakan Pemerintahan Aceh yang tidak boleh disalahtafsirkan dalam menindak lanjutinya di lapangan baik penindakan maupun memperkuatnya dengan regulasi sebagai kebijakan Pemerintahan Kabupaten/Kota. Persoalan busana islami sangat fleksibel dan lues diatur, karena hanya membatasi pakaian yang menutup aurat tidak ketat dan tembus pandang. Sehingga, dengan prinsip ini terbuka kemungkinan ulama berbeda pendapat tentang batas aurat. Di sini juga, tidak berbicara tentang style atau model apa yang digunakan, tergantung kondisi dan situasi pemakai. Terkesan saat ini, penampilan dan penggunaan busana islami, dengan fashion shownya terlalu bermewah-mewahan dan menunjukkan kesombongan. Seharusnya, perlu didesain bagaimana pakaian sederhana yang digunakan dalam situasi yang berbeda, termasuk pakaian ke sawah. Wallahu a’lam bi- al-Shawwab. []
Editor: Sayed M. Husen
*) Penulis adalah Kepala Dinas Syariat Islam Aceh