Pimpinan Dayah Darul Ikhsan Kurueng Kali, Aceh Besar, Tgk. H. Muhammad Faisal Sanusi, S.Ag., M.Ag. (Foto/Ist)
Banda Aceh -- Aceh telah melewati beberapa peristiwa memilukan, yang terakhir adalah konflik bersenjata, tsunami tahun 2004, dan Covid-19. Banyak sekali korban telah jatuh dalam berbagai peristiwa tersebut, namun Aceh sebagai masyarakat yang dikenal agamis harus sepenuhnya belajar dari pengalaman masa lalu.
Pimpinan Dayah Darul Ikhsan Kurueng Kali, Aceh Besar, Tgk. H. Muhammad Faisal Sanusi, S.Ag., M.Ag menyampaikan hal tersebut dalam khutbah Jumat di Masjid Raya Baiturrahman (MRB) Banda Aceh, Jumat, (22/12/2023), yang teksnya secara khusus disiapkan oleh Dinas Syariat Islam Aceh. Khutbah serentak seluruh Aceh ini dalam rangka peringatan 19 tahun tsunami Aceh, 26 Desember yang akan datang di halaman MRB.
Muhammad Faisal menguraikan, dalam memaknai peristiwa besar yang memilukan itu, tentu saja umat Islam juga harus bertekad melakukan perubahan-perubahan yang juga besar di dalam hidup ini. Berserah diri bukan berarti meninggalkan konsep ikhtiar, tetapi sebaliknya, jika musibah itu kita artikan sebagai teguran Allah yang disebabkan oleh sesuatu yang mungkin telah menyebabkan Allah murka, maka ikhtiar menghadirkan perubahan dalam hidup ini dan menciptakan kondisi yang membuat Allah ridha menjadi wajib, walalupun terkadang kita berada dalam kondisi yang sangat membuat kita putus asa.
Karena itu, tegasnya, satu usaha nyata yang dapat kita lakukan secara bersama untuk menuai ridha Allah kepada Aceh adalah dengan membumikan aturan-aturan Allah di dalam kehidupan kita secara menyeluruh. Sudah saatnya kita menyadari dan mengingatkan orang-orang di sekitar kita, bahwa janji Allah adalah haq, baik yang merupakan kebaikan atau nikmat maupun dalam bentuk musibah.
“Mari kita senantiasa mengajak orang-orang yang selama ini kurang peduli terhadap upaya penguatan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat khususnya di Aceh, termasuk mereka yang bahkan selama ini ikut melecehkan nilai-nilai tersebut, untuk kembali ke jalan Allah. Apabila hal ini tidak kita indahkan, maka kekufuran itu kita takutkan akan menjelma menjadi kemurkaan Allah Swt dalam bentuk musibah-musibah lainnya,” ujarnya.
Demikian pula, tambah Muhammad Faisal, kerapuhan nilai dalam masyarakat terkadang merupakan konsekuensi dari pudarnya kepedulian kolektif yang dipicu oleh perubahan tatanan kehidupan sosial politik dan budaya. Akibatnya, masyarakat secara tidak sadar dan perlahan tergiring menjadi lebih permisif dan masa bodo pada hal-hal yang tidak terkait langsung dengan diri mereka.
Akhirnya pudarlah nilai-nilai amar makruf dan nahi mungkar dari sanubari masyarakat dan tumbuhlah nilai-nilai negatif atau prilaku buruk yang semakin hari semakin sulit disembuhkan. Fenomena seperti inilah yang dapat kemudian menyebabkan turunnya teguran atau azab dari Allah. Apabila itu terjadi bukan hanya akan dirasakan oleh orang-orang yang berbuat zalim, tetapi dirasakan seluruh komponen masyarakat.
“Dengan tegas Allah mengingatkan manusia, bahwa menyelamatkan sebuah negeri dari fitnah atau musibah besar adalah tugas kolektif, tidak cukup hanya dengan menjaga kesalehan diri sendiri dan menutup mata kepada kemaksiatan yang terjadi di sekeliling kita. Bahkan Allah menjadikan kepedulian sosial sebagi indikator kadar keimanan seseorang,” tegasnya lagi.
Karena itu, sangat penting masyarakat Aceh selalu belajar dari masa lalu, baik yang berupa kegemilangan agar dapat kembali diwujudkan maupun yang berupa malapetaka agar dapat dihindari di masa yang akan dating.
“Allah kerap menekankan di dalam al-Quran bahwa kemenangan hanya milik orang-orang yang selalu melihat keterpurukan di masa lalu,” pungkasnya. [Sayed M. Husen]