Banda Aceh - Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh dituding tidak peduli terhadap pengemis anak, hal ini diungkapkan Direktur Yayasan Bantuan Hukum Anak (YBHA) Peutuah Mandiri Rudy Bastian, dalam rilisnya yang diterima media ini Minggu, (24/12/2023).
"Dalam pantauan YBHA Peutuah Mandiri baru-baru ini pengemis anak di Kota Banda Aceh sangat meresahkan. Kota Banda Aceh sebagai Ibukota Provinsi Aceh seharusnya menjadi contoh bagi kabupaten kota lainnya di Aceh dalam penanganan anak pengemis. Akan tetapi justru keadaan ini bertolak belakang dengan fakta di lapangan," ungkap Rudy Bastian.
YBHA menemukan anak-anak yang mengemis di sejumlah sudut Kota Banda Aceh sangat memprihatinkan dan mengiris hati. Anak-anka pengemis tersebut beranjak dengan berbagai alasan sosial, baik itu anak dalam katagori yatim, yatim piatu, dan fakir miskin.
"Pemkot Banda Aceh terasa tidak peduli dengan keberadaan mereka. Usia anak yang mengemis rata-rata berada di usia sekolah dasar dan sekolah menengah bahkan ada balita usia 4 tahun sampai jam 01.00 wib dini hari masih mengemis di warung kopi di Banda Aceh," ujar Rudy Bastian.
"Masyarakat yang menyaksikan hal tersebut hanya bisa mengelus dada dan pasrah melihat anak-anak tersebut mengemis," lanjutnya.
YBHA menduga ada sindikat besar yang mengelola anak-anak tersebut untuk dibiarkan mengemis sampai tengah malam. Seharusnya di jam tersebut anak-anak seusianya sudah istirahat di rumah agar bisa bersekolah esok harinya.
"Tapi justru waktu istirahat tersebut anak-anak pengemis berkeliaran di sejumlah warung kopi dan sudut jalan di Kota Banda Aceh," ungkap Rudy Bastian.
Terkait dengan fenomena tersebut, menurut Rudy Bastian, Kota Banda Aceh sebagai salah satu Kota Layak Anak (KLA) yang telah dinobatkan dalam apresiasi KLA 2023 di Semarang, pada 22 Juli 2023 lalu, ternyata tidak selaras dengan anugerah tersebut.
"Pemkot Banda Aceh abai dan terkesan tidak mau peduli dengan keadaan anak-anak pengemis tersebut. YBHA meminta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk melakukan evaluasi kembali terkait anugerah itu," tukas Rudy Bastian.
Menurutnya, secara hukum, tindakan anak-anak mengemis tersebut tentu tidak dilakukan secara spontanitas oleh anak. Pasti ada dukungan orang-orang sekelilingnya yang melakukan eploitasi dan mengatur alur serta waktu dan lokasi yang tepat anak-anak tersebut dapat mengemis.
"Jikapun ada orangtua yang memaksa anak mengemis tersebut tentu juga dapat dikatagorikan eploitasi anak dan bisa dihukum," terang Rudy Bastian.
Rudy Bastian menambahkan, aturan mengenai perlindungan anak dari eksploitasi didasarkan pada Pasal 13 ayat (1) huruf b UU 23/2002 yang mengatur bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan, salah satunya, dari perlakuan eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.
Sedangkan, pengertian “eksploitasi” menurut Rudy Bastian, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah pemanfaatan untuk keuntungan diri sendiri, penghisapan, pendayagunaan, pemerasan atas diri orang lain hanya untuk kepentingan ekonomi semata dan tindakan tersebut merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Dalam aturan lain UU 35/2014 diatur pula mengenai larangan bagi siapapun, termasuk orangtuanya sendiri, untuk mengeksploitasi anak, baik secara ekonomi dan/atau seksual, yaitu: Pasal 76I UU 35/2014 Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak.
"Dengan demikian, tindakan orangtua yang ‘mempekerjakan’ anak sebagai pengemis digolongkan sebagai tindakan eksploitasi anak secara ekonomi, dan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak 200 juta rupiah," papar Rudy Bastian.
Masihenurut Rudy Bastian, Pemkot Banda Aceh dan sejumlah stake holder elemen perlindungan anak seharusnya dapat bertindak secara terukur dan segera. Karena pengemis anak makin hari makin memprihantinkan.
"Mesti segera ditindak para pelaku yang mengekploitasi anak-anak untuk mengemis tersebut," tegasnya.
Menurut Rudy Bastian, saat ini YBHA Peutuah Mandiri sedang bekerja sama dalam program Spear bersama Nonviolent Peaceforce yang didukung oleh Kedutaan Besar Belanda di Indonsia tetap concerns dan fokus dalam mengawal kejadian-kejadian terkait ekploitasi terhadap anak dan mendorong agar aparat penegak hukum mesti melakukan upaya tegas terhadap para pelaku yang mengekploitasi anak untuk mengemis tersebut. Hal ini tidak perlu ditakutkan, karena aturan hukum telah mengatur hal itu.
"Anak-anak mesti segera diselamatkan dan keberadaan Pemkot Banda Aceh dengan sejumlah elemen terkait sangat diperlukan. Pemkot Banda Aceh dapat menglead sejumlah elemen lain guna dibahas secara intens dan disepakati langkah-langkah penaganan dan tindakan yang semestinya dapat diambil," saran Rudy Bastian.
"Peran dan tanggungjawab masyarakat kedepannya juga sangat diperlukan agar kejadian-kejadian ekploitasi anak dan pengemis anak ke depan tidak terulang kembali. Peran orangtua yang melakukan ekploitasi jika terbukti maka dapat dicabut haknya saja. Lalu anak-anak tersebut dapat dibina dalam pembinanan negara nantinya," pungkas Direktur YBHA Peutuah Mandiri yang beralamat di Jalan Keuchik Amin, No. 4 Gampong Beurawe, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh. [Hamdani]