Aceh Besar – Al-Quran menyebutkan manusia berdasarkan perannya dengan enam sebutan, manusia sebagai al-Insan (individu), manusia sebagai an-Nas (makhluk sosial), dan manusia sebagai khalifah fil-Ardh (khalifah di bumi). Sebutan lainnya, manusia adalah bani Adam (keturunan Nabi Adam), manusia sebagai al-Basyar (makhluk biologis), dan manusia sebagai ‘abdun (hamba Allah).
“Dari sekian peran manusia yang disebutkan dalam al-Quran, peran manusia sebagai hamba adalah kunci dalam menjalankan peran yang lain sebaik mungkin,” demikian disampaikan anggota MPU Aceh Selatan, Tgk. Muhsin Akbar, MA, dalam khutbah Jumat di Masjid Darul Falah Cot Keu Eung, Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar, (14/07/2023).
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Aceh Selatan ini menguraikan, bahwa manusia sebagai hamba dalam al-Quran dinyatakan dalam tiga sebutan, ‘abdun, ‘abid, dan ‘ibad. Sebutan pertama lebih sering digunakan untuk menyebut Nabi dan hamba saleh yang menyerahkan diri pada Allah. Penyebutan kedua ditujukan kepada hamba yang menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
“Sementara penyebutan ketiga memiliki tingkat yang sangat dekat dengan Allah, karena dalam penyebutannya kata ini sering disandarkan kepada Allah, baik dengan isim zahir maupun isim zamir yang merujuk kepada zat Allah,” ujarnya.
Menurut Muhsin Akbar, kesadaran diri akan hakikatnya sebagai hamba Allah akan mengantar manusia pada tahap pengungkapan syukur paling tinggi, yaitu dengan meyakini segala yang terjadi pada dirinya adalah nikmat dan curahan kasih sayang Allah kepada dirinya.
Keyakinan seperti ini, tambahnya, akan mendorong dan memotivasi seorang hamba untuk melakukan segalanya dengan sebaik mungkin, sehingga ibadah baginya bukan hanya di atas sajadah dan menghadap kiblat, akan tetapi ibadah baginya adalah seluruh tindakan, ucapan, dan pikiran yang diperbuatnya.
Alumni Dayah Darussalam Al-Waliyah ini menjelaskan, bahwa dalam Islam, dikenal istilah hablumminallah (ikatan antara hamba dengan Tuhan) dan hablumminannas (ikatan antar sesama manusia). Sementara dalam pandangan ilmu fikih, ikatan yang pertama telah diatur dalam hukum-hukum ubudiyah (peribadatan) dan ikatan yang kedua diatur dalam hukum-hukum muamalah (interaksi).
Kedua jenis hukum dalam Islam ini memiliki lima tujuan perlindungan atau biasa disebut dengan maqashid asy-Syari'ah yang terdiri dari, pertama, perlindungan terhadap agama, kedua perlindungan terhadap jiwa, ketiga perlindungan terhadap akal, keempat perlindungan terhadap nasab, dan yang terakhir kelima perlindungan terhadap harta.
“Kelima tujuan ini seakan menjadi jaminan akan keadilan setiap hukum yang diajarkan oleh syariat Islam,” katanya. Muhsin Akbar menjelaskan, meskipun tata aturan tentang peran manusia dalam kehidupan bermasyarakat merupakan ranah pembahasan dari hukum muamalah, namun gaya hidup hedonis, materialis, dan kapitalis yang menjadi tren dalam kehidupan masa kini berhasil menarik mayoritas umat Islam ke dalam pola kehidupan bermasyarakat yang menyimpang dari ajaran Islam.
“Lebih jauh dari itu, banyak di antara umat muslim yang lupa akan hakikat dirinya yang paling utama yaitu sebagai hamba Allah, sehingga mereka terseret arus globalisasi tanpa mampu memilih dan menentukan lagi mana yang akan membawa kebaikan dan mana yang akan membawa keburukan baik untuk diri sendiri ataupun orang disekitarnya,” jelasnya.
“Semua ini terjadi begitu saja disadari atau tidak oleh pelakunya,” tegas Muhsin Akbar.
Karena itu, untuk dapat memahami kembali bagaimana syariat Islam menempatkan manusia sebagai hamba yang bermartabat dan berakal budi, umat Islam harus merujuk kembali kepada al-Quran yang merupakan buku manual user bagi umat muslim yang telah disediakan dan dipelihara kemurniannya secara langsung oleh Allah SWT. [Sayed M. Husen]