Oleh: Syahrati, S. HI., M.Si*)
Produk halal secara esensial berfungsi membentuk masyarakat berakhlak mulia dan sejahtera. Sebaliknya, jika makanannya haram, maka akan mendorong kepada perilaku yang kurang baik.
Perhatian Al-Qur’an terhadap makanan begitu besar, sehingga ketika berbicara tentang perintah makan Allah memerintahkan kepada seluruh manusia untuk memakan makanan yang halal dan thayyib.
Rangkaian kata halal dan thayyib menjadi panduan standar dalam perintah makan yang tidak hanya ditujukan kepada umat Islam, namun kepada suluruh umat manusia. Artinya, makanan halal dan baik menjadi penting untuk memastikan manusia tumbuh secara sehat, baik fisik, jiwa, maupun akal.
Halal saja tidak cukup untuk menggambarkan makanan yang dianjurkan dalam Islam. Bisa saja makanan tersebut halal, namun bila penyajiannya tidak bersih dan bahan yang dicampur di dalamnya tidak aman bagi kesehatan, maka makanan tersebut tidak tergolong kriteria thayyib.
Kata thayyib sendiri menjadi illah (alasan) dihalalkan sesuatu dari makanan. Daging kambing atau ayam halal hukumnya, namun belum tentu thayyib atau baik jika dikonsumsi oleh penderita kolesterol atau darah tinggi.
Misalnya, emping dan kangkung adalah halal, namun tidak baik jika dikonsumsi oleh orang dengan keluhan asam urat. Jadi makanan yang halal belum tentu thayyib karena setiap orang memiliki keadaan yang dapat berbeda dengan lainnya.
Produk halal secara esensial berfungsi membentuk masyarakat berakhlak mulia dan sejahtera. Sebaliknya, jika makanannya haram, maka akan mendorong kepada perilaku yang kurang baik.
Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tepat membangun industri produk halal dalam negeri, sehingga berkontribusi secara nyata terhadap pembangunan akhlak.
Dalam kehidupan masyarakat dunia, halal menjadi simbol global yang mencerminkan jaminan kualitas dan pilihan gaya hidup. Karena dalam bisnis, produk berlabel halal dapat memberi keuntungan yang signifikan bagi produsen.
Manfaat Sertifikasi Halal
Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang diundangkan pada 17 Oktober 2014. Adanya Undang-Undang tersebut bertujuan memberikan perlindungan, kenyamanan, keamanan, keselamatan, serta kepastian bagi konsumen dalam mengonsumsi dan menggunakan produk halal.
Dalam Buku Pedoman Strategi Kampanye Sosial Produk Halal yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat dan Penyelenggaraan Haji, standar jaminan halal merupakan bentuk klaim bahwa produknya yang halal dapat dikategorikan sebagai produk yang bermutu dan higienis.
Pada dasarnya, keberadaan jaminan produk halal berangkat dari pertimbangan konsep luhur, bahwa masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan lengkap baik secara kuantitas maupun kualitas dari produk yang mereka konsumsi.
Dengan demikian, praktik-praktik kadaluarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak diperuntukkan, bahan-bahan berbahaya lainnya, dan perbuatan–perbuatan lain yang mengakibatkan kerugian masyarakat, bahkan mengancam jiwa, keselamatan, dan kesehatan dapat terhindari.
Pencantuman logo halal pada produk makanan dan minuman bertujuan melindungi hak-hak konsumen. Konsumen muslim tidak akan ragu-ragu membeli produk makanan dan minuman, karena pada kemasan produk makanan dan minuman tercantum logo halal dan mencegah konsumen muslim terhadap produk yang tidak halal.
Jika produk makanan dan minuman tidak halal sesuai Undang-Undang Produk Jaminan Halal, pelaku usaha berkewajiban memberikan informasi mengenai komposisi pada produk makanan dan minuman, terutama produk tidak halal baik dalam bentuk gambar maupun tulisan.
Sertifikasi halal merupakan etika bisnis yang seharusnya dijalankan produsen sebagai jaminan halal bagi konsumen. Selain sebagai cara menginformasikan dan meyakinkan konsumen, bahwa produk mereka berkualitas dan layak dikonsumsi sesuai aturan agama, label halal memberikan keuntungan ekonomis bagi produsen.
Sertifikasi halal dapat meningkatkan kepercayaan konsumen, meningkatkan pangsa pasar, dan meningkatkan daya saing bisnis.
Dengan memiliki sertifikat halal, produk UMKM akan lebih diterima di pasaran, terutama di kalangan konsumen muslim yang membutuhkan produk halal baik di pasar domestik maupun internasional.
Selain itu, sertifikat halal dapat meningkatkan kepercayaan konsumen, melalui sertifikat halal bahwa produk UMKM telah melewati proses pengujian dan verifikasi yang ketat untuk memastikan bahan-bahan yang digunakan halal dan sesuai dengan standar kehalalan yang ditetapkan.
Kewajiban Halal UKM
Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, aturan wajib sertifikasi halal di Indonesia memang sangat diperlukan. Hal ini menunjukkan, negara menjamin hak konstitusional warga negara untuk menjalankan kayakinan agamanya. Negara hadir menjamin hak tersebut melalui peraturan perundang-undangan.
Masyarakat sebagai konsumen lebih mempercayakan sepenuhnya pengawasan jaminan produk halal kepada negara yang mereka anggap paling berwenang memberikan sanksi dan tekanan hukum bila dianggap perlu.
Pada masa sebelumnya, pengajuan sertifikasi halal oleh produsen masih bersifat sukarela (voluntary), namun pasca pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, pengajuan sertifikasi halal oleh produsen bersifat wajib (mandatory).
Ketentuan tentang wajibnya sertifikasi halal bagi semua produk tersebut tertuang dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 yang menyatakan, “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Produk Halal disebutkan, “Kewajiban bersertifikasi halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan”.
Tahap pertama, kewajiban ini diberlakukan kepada produk makanan, minuman, dan produk jasa yang terkait dengan keduanya. Prosesnya akan berlangsung dari 17 Oktober 2019 sampai 17 Oktober 2024. Tahap kedua, kewajiban sertifikasi halal diberlakukan untuk selain produk makanan dan minuman. Tahap kedua ini dimulai 17 Oktober 2021 dalam rentang waktu yang berbeda. Tahap kedua, kewajiban bersertifikat halal akan mulai diberlakukan juga bagi produk obat-obatan, kosmetik, dan barang gunaan. Tahap kedua dilaksanakan mulai 17 Oktober 2021 sampai dengan yang terdekat 17 Oktober 2026. Ini sesuai amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
Ketentuan ini akan berpengaruh besar bagi pelaku usaha untuk memiliki sertifikasi halal bagi setiap produk yang beredar di Indonesia.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi para pelaku usaha untuk segera mengikuti ketentuan hukum tersebut sebagai bentuk ketaatan terhadap undang-undang. Pastinya terdapat sanksi yang akan diberikan mulai dari peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran. Sanksi yang diberikan ini sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam PP Nomor 39 tahun 2021.[]
Editor: Sayed M. Husen
*) Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Fungsional Kabupaten Bireuen