Oleh : Abdul Halim, SE.,M.Si*)
Ada satu ungkapan yang menarik dalam bahasa kita (Aceh) yaitu “Tikoeh yang Tapoeh, Bek Rumoeh yang Tatoet”.
Ungkapan tersebut jika kita cermati mengandung makna bagaimana cara dalam menyelesaikan masalahnya, apakah cara yang dilakukan dalam menyelesaikan masalahnya mengakibatkan masalah tersebut selesai atau malah akan menimbulkan masalah baru yang lebih besar.
Ungkapan ini sangat cocok bila kita sandingkan dengan kejadian saat ini dimana ada wacana dan usulan dari Pemerintah Aceh ke Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk merevisi Qanun No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (Serambi, 22 Mei 2023).
Wacana Pemerintah Aceh untuk merevisi Qanun tersebut bukan tanpa alasan, berdasarkan problematika yang terjadi di lapangan dari kalangan-kalangan tetentu, ternyata terdapat “masalah-masalah” yang timbul pada perbankan syariah yang ada di Aceh, diantaranya adalah kesulitan dalam melakukan transaksi keuangannya, terutama di kalangan pengusaha yang sulit dalam melakukan transaksi keuangannya untuk luar daerah bahkan ke luar negeri, ditambah lagi dengan erornya sistem perbankan syariah pada pekan lalu, yang mengakibatkan nasabah “kelabakan” dalam melakukan setor tarik tunai, transfer dan lain sebagianya.
Sedikit kita menyinggung tentang lahirnya perbankan syariah dan fungsi perbankan syariah dan perbankan konvensional. Pada prinsipnya perbankan syariah dan perbankan konvensional mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai lembaga internediasi antara pihak yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana.
Perbedaan yang paling mendasar antara keduanya adalah bank syariah berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan kegiatan muamalahnya, sedangkan bank konvensional tidak.
Dalam sejarah perekonomian Islam, praktik perbankan syariah telah dilakukan sejak zaman Rasulullah dan para sahabatyya, juga sudah dipraktikkan pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah dan terus mengalami perkembangan yang pesat sampai ke Eropa dan Asia.
Jika kita lihat dari sejarah kelahirannya, bank syariah, sudah ada di negeri lain dan tumbuh kembang dengan pesat sebelum ada di negara kita.
Perbankan syariah lahir di Indonesia antara tahun 1983-1998. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 menjelaskan bahwa terdapat dua sistem dalam perbankan di tanah air (Dual Banking System) yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah.
Selanjutnya perbankan syariah tumbuh dan berkembang di negeri kita yaitu di Aceh, provinsi dengan salah satu keistimewaannya adalah dalam menjalankan roda pemerintahannya dengan menegakkan syariat Islam (Undang-Undang No. 44 tahun 1999).
Aceh Darussalam jika kita lihat makna per kata nya adalah, Daarus (Negeri) dan As-Salam (Selamat, sejahtera). Laqab As-salam ini akan terus melekat jika orang-orang yang ada di Aceh, sistem pemerintahan yang ada di Aceh, sendi ekonomi, politik, sosial budaya harus mempunya sifat As-salam, jika kita lihat dari segi ekonominya terbebas dari unsur gharar (kuantitas, kualitas, harga, waktu penyerahan), Riba (Fadhl, Yad, Nasiah) dan semua sendi tersebut harus berdasarkan alquran, Hadist, Qiyas dan Ijma’ para ulama.
Ketika laqab As-salam ini sudah melekat di Aceh, sudah sepantasnya “seluruh lingkup Aceh ini” harus mempertahankan dan memperjuangkan serta bersifat As-salam.
Fenomena yang sangat menarik saat ini yang terjadi adalah ketika As-salam itu sudah ada, ada rencana pihak-pihak tertentu untuk “menghapus atau mencampur” dengan Al Bathil.
Padahal Al-Quran jelas mengatakan “Janganlah kamu mencampur adukkan antara yang Haq dan bathil, (Al-Baqarah: 42).
Konsekuensi yang timbul apabila ada percampuan antara yang haq dan bathil maka laqab As-salam hanya merupakan simbol pemanis saja.
Kembali kita pada kontek “Tikoeh yang tapoeh, bek rumoeh yang tatoet”. Revisi terhadap Qanun No. 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan Syariah dengan wacana menghadirkan kembali bank konvensional ke Aceh menurut kami harus dipertimbangkan kembali dengan seksama.
Sebenarnya bisa saja Qanun No. 11 Tahun 2018 direvisi kembali, akan tetapi revisinya dalam bentuk penguatan kembali perbankan syariah yang beroperasi di Aceh.
Standar Operating Prosedur harus memadai, sistem transaksi keuangan di luar dan dalam negeri harus dirancang se-up to date mungkin sehingga transaksi lebih mudah dilaksanakan, ATM-ATM bisa melakukan transaksi luar dan dalam negeri dan lain sebaginya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah dihadirkannya (merekrut) secara khusus bagian fatwa yang terdiri dari pakar-pakar ekonomi Islam dan ulama-ulama dayah dalam bagian fungsi organisasi setiap bank syariah.
Kehadiran para pakar ekonomi Islam dan ulama dayah akan memperkuat kembali fatwa-fatwa DSN MUI yang diterapkan oleh perbankan syariah itu sendiri, sehingga konsep dan praktik yang dilakukan selaras apa yang telah digariskan oleh fatwa yang berdasarkan Al-Quran, Hadist, Qiyas dan Ijma’ ulama.
Merevisi Qanun No. 11 Tahun 2018 dengan wacana menghadirkan kembali bank konvensional ke Aceh sama artinya dengan (Toet Rumoeh/ membakar rumah yang sudah ada). Seharusnya yang pantas dilakukan adalah membasmi hama/menghilangkan dan membaguskan sistem perbankan, dan memperkuat pondasi rumah (perbankan), kebersihan rumah, kenyamanan rumah, nilai seni rumah dan lain sebagainya.
Semoga Laqab As-salam yang disandang oleh Provinsi Aceh dengan keistimewaannya terus melekat disertai dengan tindakan yang bersifat As-salam bagi segenap penghuni Provinsi Aceh, penghuni-penghuni yang tidak tercemar oleh faham-faham liberalisme, kapitalisme, marxisme, yang terkadang membuang konsep yang sudah ditawarkan oleh Al-quran dan Al Hadist dan lebih memilih konsep-konsep yang tidak islami demi kepentingan kelompok-kelompok tertentu, pribadi-pribadi tertentu. Amin Ya Rabbal Alamin... []
Editor: Hamdani
*) Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Lhokseumawe, Jurusan Tata Niaga