Oleh: Hamdani, SE.,MSM*)
18 tahun silam Aceh dilanda gelombang maha raya, menjulang sampai 30 meter, menghancurkan apa saja yang menghadang, ratusan ribu nyawa melayang, merusak bangunan tak terbilang. Menciptakan kerusakan yang sangat dahsyat dalam sejarah modern.
Warga dunia pun tercengang, mereka bergegas membantu Aceh. Tentu tanpa mengharap keuntungan dari bantuan spontanitas tersebut. Semua atas nama kemunusiaan. Agama diabaikan. Sekali lagi, atas nama kemanusiaan. Terimakasih warga dunia.
Beberapa hari ini, bahkan pada Senin, 26 Desember 2022 entah secara kebetulan, karena bertepatan dengan peringatan 18 tahun tsunami Aceh, sebuah kapal yang berisi pengungsi Rohingya pun bersandar di perairan Pidie Aceh. Kemarin pun ada kapal yang mengangkut warga Rohingya yang terdampar di Aceh.
Begitulah, tentu kedatangan mereka ke Aceh bukan untuk tamasya, pun juga bukan untuk meramaikan peringatan 18 tahun tsunami Aceh. Tapi mereka terpaksa lari dari tanah leluhurnya dengan menyeberang lautan, berspekulasi mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan nyawa dari penguasa kejam di tanah leluhur mereka.
Mereka terusir dari negerinya. Seandainya masih bisa tidur nyenyak di kasur empuk di rumah mereka, tak mungkin mereka akan menghamba kepada kita, datang jauh-jauh dari negerinya, bahkan membawa serta anak balita.
Tapi yang membuat saya heran, sudah mulai banyak warga Aceh yang menolak kehadiran para pengungsi malang dari Rohingya ini. Bahkan penolakan itu semakin masif.
Ada apa ini? Apakah kita lupa bahwa kita Aceh 18 tahun silam juga pernah tertimpa kemalangan dalam dimensi yang berbeda? Tapi, warga dunia bahu membahu membantu kita. Tapi kenapa saat orang lain menderita, butuh bantuan dari kita, malah kita mendongkol dan seperti tak rela?
Padahal karena bantuan orang, kita hari ini sudah bangkit dari keterpurukan, apa salahnya membantu warga dunia lainnya yang sedang ditimpa kemalangan? Kenapa kita cepat sekali melupakan kebaikan orang lain?
Ada kawan saya mengatakan, "apa untungnya menolong mereka?"
Loh, kan kita tidak sedang berdagang dengan mereka? Tuhan yang akan membalas kebaikan kita. Tentu bukan balasan finansial, tapi pahala.
Ada yang mengatakan, "ini ulah calo kapal, yang mengeruk keuntungan dari Rohingya itu,"
Lah, justru kalau kejadiannya begitu, harusnya kan kita makin sayang sama orang Rohingya itu, karena telah dijadikan komoditas oleh para penjahat. Kok justru makin membenci? Logikanya bagaimana itu.
Ada yang mengatakan, "ini sudah seperti permainan, mungkin saja UNHCR terlibat,"
Pertanyaannya, untungnya darimana? Untuk apa badan dunia terlibat dalam permainan konyol seperti ini? Saya gagal paham.
Entahlah, yang jelas, saya makin heran dengan sikap orang-orang itu.
Sekali lagi, walau ada di antara pengungsi Rohingya itu bandel, tapi itu hanya oknum. Tapi jangan sampai kita membenci mereka semua, apalagi sesama muslim.
Kalau kita tak sanggup menolong, atau tak mau menolong, biarkan saja orang lain yang menolong. Masih banyak kok yang mau menolong. Tak mau menolong ya diam saja. Itu saja repot.
Sekian. Mohon maaf jangan marah sama saya, ini hanya sudut pandang pribadi. Kalau tak nyaman abaikan sahaja. Salam. []
*) Penulis adalah seorang dosen dan juga jurnalis
Disclaimer: Semua tulisan pada Rubrik SUDUT PANDANG bukanlah lah produk jurnalistik, juga tidak mewakili pandangan Redaksi Juang News. Untuk itu, setiap tulisan yang dimuat di rubrik SUDUT PANDANG itu menjadi tanggung jawab pribadi si penulis. Karena sesuai nama rubrik, semua konten dari tulisan tersebut, merupakan opini pribadi dari sudut pandang personal penulis. Demikian. []