Oleh: Afrizal Sofyan, S.PdI, M.Ag*)
Ibadah merupakan salah satu tujuan penciptaan manusia. Itulah sebabnya, orang yang benar-benar beriman kepada Allah Swt, tentu akan berlomba-lomba dalam hal beribadah.
Hasbi As-Ṣhiddiqi dalam kitabnya Kuliah Ibadah mengemukakan, hakikat ibadah ialah melaksanakan perintah yang diwajibkan Allah Swt kepada manusia, yang sekaligus merupakan kebutuhan manusia itu sendiri.
Allah mewajibkan beriman dengan maksud untuk membersihkan hati dari syirik, kewajiban shalat mensucikan diri dari takabbur, diwajibkannya zakat untuk menjadi sebab diperolehnya rezeki, serta mewajibkan berpuasa untuk menguji kesabaran dan keikhlasan manusia.
Demikian juga Allah Swt mewajibkan haji untuk mendekatkan umat Islam antara satu dengan yang lainnya, mewajibkan jihad untuk kebenaran Islam, dan mewajibkan amar makruf untuk kemaslahatan orang awam. Allah Swt wajibkan nahi munkar untuk menjadikan cambuk bagi orang-orang yang kurang akalnya, begitulah seterusnya.
Karena itu, dapat dipahami ibadah dalam Islam bukan berarti karena Allah Swt atau Tuhan yang membutuhkan ibadah itu. Namun, manusia dan jinlah yang sebenarnya membutuhkan ibadah kepada Tuhannya.
Ibadah bukan hanya kegiatan atau ritual yang dilakukan tanpa makna, sebab ibadah pada hakikatnya memiliki tujuan diantaranya, untuk menciptakan hubungan harmonis antara makhluk dan Sang Penciptanya, yaitu Allah Swt. Ibadah juga bentuk rasa syukur manusia dan jin kepada Allah Swt atas semua kebaikan dan berkah yang telah diberikan.
Ibadah dilakukan untuk mengukur sejauh mana kepatuhan makhluk ciptaan Allah dalam melaksanakan perintah-Nya. Ibadah dapat mendatangkan rasa aman, damai, dan tenang, serta ibadah dilakukan untuk menghilangkan rasa takabur, karena hanya Allah Swt yang memiliki segala kesempurnaan. Ibadah dilakukan sebagai bentuk ekspresi, bahwa manusia hanya makhluk yang lemah dan membutuhkan pertolongan dari Allah Swt.
Kaidah Dasar dalam Ibadah
Diantara kaidah fikih dalam ibadah yang cukup makruf dikalangan ulama sebagaimana dikutip dalam Al Qawaid Wal Ushul Al Jami’ah, hlm 72, “Hukum asal dalam ibadah adalah terlarang, maka suatu ibadah tidak disyariatkan, kecuali ibadah yang disyariatkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya”.
Syaikh Muhammad Husain Al Jizani, ahli tafsir dan ilmu fikih dan juga salah seorang ulama yang mengajar di berbagai belahan dunia, memaknai kaidah ini dalam kitabnya Dirasah wat Tahqiq Qaidah Al Ashl fil Ibadah Al Man’u, hlm 35. Dia mengatakan, “Hukum mustashab (hukum asal) yang ada pada aktivitas taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt adalah terlarang dan haram, tertolak dan batil, kecuali ibadah yang datang dalilnya dari syariat dan diizinkan oleh syariat maka ia tidak terlarang”.
Dia juga mengatakan, “Mendekatkan diri kepada Allah Swt tidak mungkin, kecuali dengan apa yang telah Allah Swt syariatkan. Ini adalah konsekuensi tauhid dan iman kepada Allah Swt, yaitu tauhid ittiba’, yang merupakan salah syarat dari amalan, agar bisa disebut amalan shalih. Karena amalan itu tidak diterima kecuali memenuhi dua syarat: ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan syariat). Maka kaidah ini terkait dengan syarat ke dua yaitu mutaba’ah.”
Dia menambahkan, “Barang siapa yang mengklaim suatu aktivitas itu adalah ibadah, maka ia dituntut untuk mendatangkan dalil yang bisa mengesahkan ibadah tersebut, yang berupa nash dari Alqur’an dan sunnah”.
Syarat Ibadah yang Diterima
Semua hamba yang beribadah berharap, semoga semua ibadahnya Allah Swt terima sebagai amal saleh, sehingga memberikan dampak positif dalam kehidupan dunia dan akhirat. Peribadatan seorang hamba yang muslim akan diterima oleh Allah Swt sebagai amal saleh apabila dilakukan dengan ikhlas dan benar.
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir memberikan ukuran ibadah yang benar yaitu, "Dan ini adalah dua rukun amalan yang diterima, yaitu harus ikhlas karena Allah Swt dan harus sesuai dengan syariat Rasulullah Saw”.
Ungkapan senada disampaikan oleh Al Fudhail bin 'Iyad rahimahullah sebagaimana dikutip dalam kitab Majmu’ Fatawa, 3:124, “Amalan saleh adalah amalan yang paling ikhlas dan paling benar.” Ada yang bertanya, “Wahai Abu Ali apa yang dimaksud paling ikhlas dan paling benar?” Al-Fudhail menjawab, “Jika amalan itu ikhlas namun tidak benar maka tidak diterima. Jika benar, namun tidak ikhlas maka juga tidak diterima. Amalan yang diterima adalah yang menggabungkan antara ikhlas dan benar. Ikhlas adalah beramal karena Allah dan benar adalah sesuai sunnah”.
Dalam hal ini, Ibnu Qayyim Al Jauzi dalam kitabnya Ad-Daa’ Wa Ad-Dawaa’ hlm 202 menyimpulkan, “Amal saleh itu adalah amal perbuatan yang terlepas dari riya dan yang terikat dengan sunnah”.
Dari uraian para ulama di atas, dapat disimpulkan, bahwa ibadah seseorang akan diterima oleh Allah Swt dan menjadi amal saleh apabila, pertama, pelaksanaan ibadah harus dilandasi dengan iman kepada Allah Swt. Artinya, seseorang yang melaksanakan ibadah harus yakin bahwa itu merupakan perintah dari Allah Swt.
Jika tidak dinyatakan secara tegas bahwa ibadah tersebut termasuk perintah atau anjuran Allah Swt, tetap harus berlandaskan apakah ibadah itu merupakan perintah atau anjuran Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, umat muslim yakin bahwa ibadah tersebut sesuai dengan syariat, serta yakin akan diterima dan mendapat balasan berupa pahala dari Allah Swt.
Kedua, ibadah yang dilaksanakan harus dilandasi dengan ilmu. Artinya, seorang muslim harus mengetahui dan memahami bahwa ibadah yang dilakukan benar-benar sesuai dengan syariat atau ajaran Islam dan merupakan tuntunan Nabi Muhammad saw. Oleh sebab itu, iman dan ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia.
Ketiga, ibadah yang dilaksanakan harus dilandasi dengan ikhlas. Apapun bentuk ibadah dan amalan yang dilakukan umat muslim, harus berlandaskan rasa ikhlas semata-mata karena Allah Swt. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari sifat riya yang dapat merusak amal ibadah seseorang.
Akhirnya, mari kita berdoa sebagaimana doanya khalifah Umar bin Khattab r.a yang dikutip oleh Imam Ibnu Qayyim Aljauzi dalam kitabnya Al Jawab Al Kafi, ”Ya Allah Swt, jadikanlah seluruh amalku sebagai amal shalih dan jadikanlah amalanku hanya murni untuk wajah-Mu dan janganlah jadikan dalam amalku sedikitpun untuk seorang makhluk”. []
*) Penulis adalah Anggota MPU Aceh Besar