Oleh: Nuim Hidayat*)
Kalau kita cermati, kajian tasawuf kini marak di tanah air, dii perkantoran, majelis taklim, pesantren dan lain-lain. Kalangan menengah atas dan bawah suka kajian ini. Apa penyebabnya?
Salah satunya adalah karena kemuakan mereka terhadap tingkah laku pejabat dan politisi mereka. Para pengkaji itu muak terhadap kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang jauh dari nilai-nilai Islam.
Para pejabat dan politisi kita mayoritas tamak kepada harta. Tidak ada empati kepada orang miskin. Rumah tangganya atau partainya dipuaskan secara maksimum, baru setelah itu rakyat dipikirkan.
Bayangkan bagaimana mereka menikmati gaji 100 juta lebih sebulan. Sementara jumlah penduduk miskin di tanah air menurut Bank Dunia lebih dari 100 juta. Padahal yang ia kantongi per bulannya itu uang rakyat. Di samping itu kemuakan pada para politisi adalah banyaknya spanduk spanduk yang beredar di sekeliling mereka. Jika politisi atau anggota DPR itu berbuat sesuatu kepada rakyat, diekspos besar-besaran. Mengapa tidak diekspos gaji mereka yang besar itu?
Dalam Islam, manajemen penggajian pejabat publik tidak boleh ngawur. Kalau banyak masyarakat yang miskin maka negara menggaji sekedarnya. Tidak boleh ketimpangan mencolok terjadi antara yang kaya dan miskin. Uang atau gaji yang tidak layak itu mungkin kategorinya syubhat dan bisa jatuh ke haram.
Situasi seperti itulah diantaranya menyebabkan kajian tasawuf marak. Kajian ini lebih menekankan perlu seorang Muslim mendekat pada Allah Sang Pencipta.
Tentu kajian ini bagus. Tapi seorang Muslim tidak cukup ngaji tasawuf aja. Dua harus mengaji sosial, politik, ekonomi Islam untuk membenahi masyarakatnya. Karena Islam selain mengatur hubungan manusia dengan Allah, juga mengatur hubungan manusia dengan manusia atau lingkungannya.
Memang kerusakan politik, sosial, sains, ekonomi, militer dll karena dipisahkan ilmu tentang itu semua dengan tasawuf.
Bila pejabat mempunyai ilmu tasawuf yang tinggi, maka ketika menjabat, ia tidak memperkaya dirinya dan partainya. Ia memikirkan penuh 24 jam kehidupan untuk rakyatnya. Ia tidak bisa tidur jika rakyatnya kelaparan. Ia sulit tidur jika rakyatnya tidak punya rumah dan seterusnya.
Tapi karena ilmu tasawuf nya rendah, pejabat saat ini santai aja mobilnya Alphard atau pajero padahal rakyat yang dipimpinnya makan untuk hari ini saja susah.
Perilaku zuhud penting dimiliki pejabat. Inilah rahasianya dulu umat Islam dihormati dan dakwah dengan cepat tersebar luas ke seluruh dunia. Karena para pemimpinnya tidak rakus kepada harta. Mereka zuhud. Mereka lebih mementingkan ilmu daripada harta. Mereka lebih mementingkan dakwah daripada menumpuk harta kekayaan pribadi sebanyak-banyaknya.
Dan ini juga yang menyebabkan Kalahnya partai Islam dengan partai sekuler. Partai-partai Islam tidak zuhud kepada dunia. Partai Islam mengikuti jejak partai sekuler yang hedonis dan suka menumpuk numpuk harta.
Lihatlah kezuhudan Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz misalnya. Baitul Mal atau kas negara kaya raya, mereka hidup sederhana. Mereka meniru akhlak Rasulullah saw yang zuhud kepada dunia.
Tapi coba lihat para pejabat kita sekarang. Mereka bermewah mewah, hingga anak anaknya nikah di hotel bintang lima, sementara kas negara kosong. Kas negara utang. Mengapa kas negara minus? Karena pejabat pejabat negara mayoritas tamak kepada harta dan sangat sedikit empatinya kepada orang miskin.
Melihat rumitnya masalah moral pejabat itu, maka jangan salahkan kini pengajian tasawuf marak dimana mana. Wallahu azizun hakim.
*) Penulis adalah Direktur Akademi Dakwah Indonesia, Depok