Oleh: Nuim Hidayat*)
Melihat menjamurnya Alfamart dan Indomaret, sampai ke pelosok-pelosok desa, kita bertanya mau kemana kebijakan ekonomi kita? Apakah pemerintah sengaja membunuh ekonomi rakyat kecil?
Aneh memang. Harusnya kedua raksasa retail ini dibatasi ekspansinya. Misalnya per kabupaten cuma satu. Tidak dibiarkan liar, sehingga satu desa bisa puluhan Indomaret dan Alfamart.
Tol, stasiun, infrastruktur banyak dibangun. Tapi semua itu yang memanfaatkan pengusaha-pengusaha besar. Pengusaha-pengusaha kecil banyak tersingkir. Pembangunan stasiun yang mewah di Jabodetabek misalnya, yang bisa menyewa ruangan-ruangan stasiun ber-AC itu hanya pengusaha besar. Pengusaha kecil tersingkir karena tidak mampu sewa.
Seharusnya pemerintah memikirkan hal itu. Jangan bangun infrastruktur, tidak dipikirkan dampaknya. Digitalisasi kartu masuk kereta komuter Jabodetabek misalnya. Berapa ratus orang yang nganggur akibat digitalisasi ini? Digitalisasi tol misalnya. Berapa ribu orang yang nganggur akibat digitalisasi ini.
Indonesia bukan Eropa atau Amerika. Penduduk Indonesia masih jutaan yang nganggur. Seharusnya pemerintah memikirkan itu. Nggak semua dimesinkan. Nggak semua digitalkan. Kalau penggunaan teknologi menyebabkan jumlah pengangguran meningkat drastis, lebih baik teknologi itu tidak digunakan.
Ini adalah seperti seorang ayah yang sok keren, memberi anaknya yang masih SD dengan handphone. Seolah-olah hebat, padahal hp itu tidak ada gunanya bagi anak SD itu. Hanya digunakan untuk main game atau lihat youtube saja.
Di luar negeri saja dipikirkan dengan matang dampak pembangunan Mall. Dimana ditempatkan pedagang-pedagang kecil dengan keberadaan mall itu. Tidak asal membangun mall saja. Kalau pembangunan mall menyebabkan banyak warung-warung kecil tergusur apakah lebih baik tidak membangun mall?
Ya begitulah buruknya sistem ekonomi kita. Belum nanti kita lihat sistem riba yang jelas-jelas diharamkan dalam Islam, masih terus dijalankan. Bagaimana mau dapat keberkahan dari Allah bila ekonomi dibangun dengan sistem yang menentang Allah dan RasulNya?
Sistem riba tidak akan membuat negeri itu makmur. Karena ia menguntungkan sebagian dan merugikan kepada yang lain.
Selain riba, sistem pajak juga membuat rakyat tercekik. Bermacam-macam pajak dibebankan kepada rakyat, termasuk rakyat miskin. Harusnya pajak hanya untuk orang kaya.
Maka bila kita menengok sistem ekonomi Islam, maka tiangnya bukan pajak dan riba. Tapi sedekah, zakat dan wakaf. Bila pajak dan riba sifatnya memaksa, maka sedekah, zakat dan wakaf kaum Muslim dengan sukarela atau ikhlas memberikannya. Mereka dengan senang hati memberikan hartanya kepada masyarakat atau negara, karena yakin hartanya itu akan dikelola dengan benar. Para pejabat yang menyelewengkan harta negara akan dihukum dengan keras.
Pembangunan ekonomi yang ngawur itu seperti pembangunan kota yang ngawur. Teringat kita lagu Iwan Fals tentang Jakarta:
Langkahmu cepat
Seperti terburu
Berlomba dengan waktu
Apa yang kau cari
Belumkah kau dapat
Diangkuh gedung gedung tinggi
Riuh pesta pora
Sahabat sejati
Yang hampir selalu saja ada
Isyaratkan
Enyahlah pribadi
Lari kota Jakarta
Lupa kaki yang luka
Mengejek langkah kura-kura
Ingin sesuatu tak ingat bebanmu
Atau itu ulahmu kota
Ramaikan mimpi indah penghuni
Jangan kau paksakan untuk berlari
Angkuhmu tak peduli
Luka di kaki
Jangan kau paksakan
Untuk tetap terus berlari
Bila luka di kaki
Belum terobati
Berkacalah Jakarta
*) Penulis adalah Direktur Akademi Dakwah Indonesia, Depok