"Padam sudah satu pelita dari pesisir utara, Abu Tumin pergi dan tak kan kembali lagi, ia menghadap Rabb-nya di usia 90 tahun lebih. Selamat jalan sang pelita"
Innalillahi Wainna Ilaihi Raji'un, kata-kata itu spontan terucap dari bibir saya, pada Selasa, 27 September 2022 sekira pukul 4.30 sore. Saat itu saya sedang duduk nongkrong di sebuah cafee di sudut Kota Lhokseumawe.
Saat melirik benda pipih bercahaya di tangan saya, saya membaca sebuah aplikasi perpesanan di sebuah grup yang mengabarkan seorang ulama kharismatik Aceh meninggal dunia, yakni Tgk. H. Muhammad Amin Mahmud atau lebih dikenal dengan Abu Tumin Blang Blahdeh, Bireuen.
"Padam sudah satu lagi pelita di pesisir Aceh," ujar saya membatin.
Sejurus kemudian, saya beritahu kawan bicara saya yang sedang duduk berhadapan dengan saya, tentang kabar suka yang mengejutkan itu. "Abu Tumin meninggal," seru saya terasa kelu.
"Innalillahi wainna ilaihi Raji'un," spontan kawan saya pun mengucap kalimat itu.
Kopi sanger espresso pun terasa hambar saat saya minum saat itu. Walau saya terus melanjutkan obrolan saya, tapi saya menjadi tidak fokus lagi. Ada rasa hampa yang menyerayap di dada saya.
Secara pribadi, saya memang tak mengenal dekat ulama sepuh itu, hanya beberapa kali pernah berjumpa dan sempat mencium tangan ulama kharismatik itu. Seperti kebiasaan yang saya liat dilakukan orang-orang saat bertemu dengan orang alim.
Tapi yang paling saya ingat, saat saya masih menjadi wartawan Tabloid Modus Aceh, saat liputan banjir bandang ke Kabupaten Bener Meriah, beberapa tahun silam. Abu Tumin ada ikut dalam rombongan Pemerintah Kabupaten Bireuen yang membawa bantuan ke kabupaten tetangga itu. Saat itu saya melihat dari dekat ulama sepuh itu.
Selebihnya, saya hanya sering membaca kiprah para politisi dan pengikutnya di beberapa media massa juga media sosial, terutama jika menjelang suksesi dan jelang Pemilihan Umum akan banyak tokoh politik merapat ke Blang Bladeh ke rumah ulama itu. Seakan ingin mengambil berkah atau minta didoakan.
Satu hal yang patut diacungi jempol, semua yang datang pasti diterima dan didoakan Abu Tumin, sehingga saya yakin banyak politisi yang merasa baper lalu mengklaim didukung oleh Abu Tumin. Entahlah, tapi saya menduga, "penerimaan" Abu Tumin adalah langkah bijak sang ulama yang tak mau menjatuhkan mental dan harapan para "pemburu kekuasaan" itu. Maaf jika saya salah menduga.
Sebagai ulama kharismatik Abu Tumin tentunya ingin menempatkan diri tetap berada dalam semua golongan. Sehingga tak bisa diklaim berada dalam satu golongan. Dengan bersikap demikian, Abu Tumin terkesan sangat moderat dan dekat dengan siapa saja, juga pemerintah. Mungkin ini caranya berdakwah.
Akhir-akhir ini, kesehatannya memang mulai menurun, karena sebelum menghembuskan nafas terakhir pada sore menjelang senja pada hari ini di Rumah Sakit Umum dr. Fauziah, Bireuen, Abu Tumin terdengar kabar sudah sering keluar masuk rumah sakit untuk dirawat. Bahkan sampai beberapa kali dirawat di Malaysia.
Sekedar mengulang, Abu Tumin lahir pada tanggal 17 Agustus 1932, di desa Kuala Jeumpa, kemukiman Blang Bladeh Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen. Beliau merupakan putra dari pasangan Tgk. H. Mahmud Syah dan Khadijah.
Beliau meninggal di usia yang sudah sangat sepuh, yakni 90 tahun lebih sebulan. Jadi sudah sempurna pengabdiannya di dunia.
Selamat jalan wahai sang pelita ummat. Padam sudah pelita dari pesisir utara Aceh. [Hamdani]