Ilustrasi |
Pekan ini di lini masa medsos saya hampir tiap hari saya melihat dan membaca status tentang sulitnya transaksi di Bank Syariah Indonesia (BSI). Sumpah serapah pun nyaring terdengar. Alamak.
Sekedar informasi, BSI sendiri merupakan adalah sebuah bank yang baru berdiri pada Februari 2021 silam, yang merupakan hasil marger tiga bank BUMN di Indonesia, yakni Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank Rakyat Indonesia Syariah (BRIS), dan Bank Negara Indonesia Syariah (BNIS). Jadi wajar masih banyak kekurangan di sana sini.
Keberadaan BSI itu sendiri bukan karena perintah Qanun LKS, tapi memang kebijakan Pemerintah Indonesia. Ini yang kadang-kadang salah dipahami oleh si pembuat status dan komentator. Sehingga makian kerap dialamatkan ke BSI seraya menyalahkan Pemerintah Aceh. Sehingga akhirnya ada yang memvonis bank syariah gagal di Aceh. Saya pikir, memvonis bank syariah gagal, itu belum tepat, masih terlalu prematur. Lagian karena salah BSI kok semua bank syariah disalahkan? Lagian, baru memulai kok sudah dikatakan gagal? Tendensius sekali.
Nah, untuk BSI sendiri saya menaruh harapan besar, bahwa bank ini akan menjadi bank besar di Indonesia, syaratnya jika didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia yang notabene beragama Islam. Maka yakinkan kami ummat Islam.
Kembali ke Aceh, menurut saya bukan bank syariah nya sebenarnya yang bermasalah, tapi sistem banknya yang terkesan belum siap, sehingga akhirnya mengotori makna syariah itu sendiri, dan sialnya BSI sebagai labeling baru ketiban sialnya di Aceh.
Kenapa saya bilang begitu? Karena bekas kantor bank BRIS dan BNIS sudah kadung dipasang pamplet BSI (konsekwensi dari marger), padahal dalam prakteknya, BRIS dan BNIS masih menjalankan sistem sendiri-sendiri, mereka belum full terintegrasi.
Tapi masyarakat mana mau tahu, kan mereka melihat pamplettnya adalah BSI, jadi masyarakat awam wajar saja menilai BSI gagal. Apalagi otoritas BSI baru kemarin meminta maaf dan klarifikasi, sebelumnya mereka memilih pasif melihat keresahan nasabah di Aceh. Aduh.
Hasil pengamatan saya, akibat konversi bank konvensional ke syariah, khususan di Aceh, yang paling parah dan kacau balau sistemnya adalah di BRIS, sementara BNIS sampai saat ini masih relatif stabil, kebetulan saya adalah nasabah BNI (sekarang BNIS).
Tapi melihat carut marutnya pelayanan BSI, saya juga sempat khawatir, jika sesuai rencana Bulan Juni ke depan sistemnya akan terintegrasi full BSI bisa-bisa bermasalah juga. Tapi entahlah, mudah-mudahan tidak, jika bermasalah, maka gaji saya setiap bulan harus saya tarik semua untuk saya simpan di bawah bantal hehe.
Karena yang sangat penting buat bank adalah kepercayaan nasabah, jika nasabah tidak nyaman, maka mereka tentu tak akan menyimpan uangnya di bank. Oleh sebab itu, pihak perbankan, terutama perbankan syariah yang beroperasi di Aceh harus secepatnya memperbaiki sistemnya, apalagi menjelang Hari Raya Idul Fitri, dimana lalulintas peredaran uang sangat tinggi, kalau ATMnya sering error, macet dan gagal transfer, wajar saja nasabah sebagai pemilik uang kesal bukan kepalang.
Terakhir, saya berharap pada masyarakat Aceh, untuk tetap bersabar dan jangan cepat memvonis, bahwa bank syariah itu gagal. Mari kita dukung bank syariah sebagai bagian dari penegakan syariah secara kaffah di Aceh. Walaupun kita akui, mungkin belum full syariah, tapi setidaknya sudah ada upaya ke arah itu, daripada kita berkekalan dalam praktik ribawa. Kalau Anda tak nyaman dengan syariah paling pilihannya ganti KTP, silahkan pindah dari Aceh. Lain apa mau kita bilang, kan hidup ini adalah pilihan?
Wassalam.
Penulis:
Hamdani, SE.,MSM
Kepala Program Studi Perbankan dan Keuangan, Jurusan Tata Niaga, Politeknik Negeri Lhokseumawe